Berhasil menemukan letak pintu bunker, Dayanara segera menyingkirkan tanah dan bebatuan yang masih menutupi. Dia menarik tuasnya, lalu menuruni tangga dengan mengerahkan tenaga yang tersisa.
"Clay ...." Dia terus memanggil pria yang dicari.
Dayanara menyusuri ruang demi ruang yang saat itu begitu berantakan. Lemari rubuh, benda-benda berserakan, dan ada beberapa bagian atap yang runtuh. Dayanara menduga, kemungkinan bunker ini juga terkena dampak gempa.
"Clay ...."
Terus mencari Clay, tetapi tak juga ditemukan. Dayanara mulai kebingungan. Lagi-lagi, dia tak tahu apa yang harus dilakukan.
Berhari-hari menanti, tak juga ada pertanda Clay kembali. Bahkan ketika keluar bunker, Dayanara tak menemukan seorang pun. Dia mulai khawatir adanya kemungkinan bahwa tidak ada lagi manusia yang berhasil selamat.
Merasa tak dapat hanya berdiam diri menanti, Dayanara memutuskan untuk melakukan perjalanan. Dia hendak mencari sendiri jalur menuju Pulau Gagak. Dengan mengandalkan catatan Kakek Clay yang ditemukan di bunker dan sempat dipelajarinya, Dayanara meninggalkan lokasi yang saat ini terbilang aman.
Pergantian cuaca ekstrim masih terjadi. Dayanara yang telah beberapa kali mampu melewati, kini semakin lihai dalam mengatasi. Dia juga membawa berbagai perlengkapan perlindungan diri yang diambil dari bunker. Dengan mengukuhkan tekad untuk menepati janji kepada putra yang diharap kini telah aman berada di Pulau Gagak, lagi-lagi Dayanara melangkah menerjang bahaya seorang diri.
Bumi kini seolah hanya dihuni oleh Dayanara. Cukup jauh melangkah, yang ditemukan hanyalah reruntuhan bangunan, tanah yang retak-retak, pepohonan tumbang, dan mayat-mayat bergelimpangan. Tak ada seorang manusia pun yang dapat berdiri tegak seperti dirinya. Dayanara merasa, mungkin kiamat telah benar-benar terjadi. Namun, dia bertanya pada diri sendiri. Mengapa aku masih diberi kesempatan hidup?
Menyaksikan sendiri begitu banyak penghuni bumi yang tidak selamat, bahkan Clay tidak kembali ke bunker, Dayanara mulai mengkhawatirkan keselamatan putranya. Masih berharap bahwa putranya dapat kembali ke Pulau Gagak dengan aman, tetapi ketakutan tetap ada. Hal itu membuatnya semakin memantapkan niat. Ingin segera tiba di Pulau Gagak untuk memastikan bahwa putranya baik-baik saja di sana.
Tiga purnama telah dilewati, Dayanara pun tiba di tepi lautan. Tak terlihat satu pun alat transportasi laut yang dapat digunakan untuk mengarungi lautan. Tidak menyerah, Dayanara yang pernah membuat perahu bersama Azel dan yang lain masih mengingat caranya. Dia pun mengulang hal serupa. Menciptakan alat transportasi sendiri.
Memakan waktu yang cukup lama hingga perahu terbentuk dan dapat digunakan sebagaimana fungsinya. Butuh tenaga, keahlian, serta ketelitian. Beberapa kali hampir menyerah karena tak mampu membuatnya seorang diri. Namun, ketika mengingat Gio, semangatnya kembali bangkit.
Dayanara berteriak penuh kepuasan ketika telah berhasil membuat perahu. "Wooouuu ... berhasil! Mama datang, Nak ...."
Membawa perlengkapan alakadarnya, Dayanara mendorong perahu, lalu mengarungi lautan seorang diri.
Berbeda dengan Dayanara yang begitu bertekad menuju Pulau Gagak meski sendirian, Caputo terus melajukan kapal pesiarnya menuju daratan yang bahkan situasi terkininya tak dia ketahui. Berbagai upaya yang dilakukan Jared, Lea, Hans, bahkan Kania untuk membujuknya agar mau kembali mengarahkan kapal ke Pulau Gagak tak berhasil. Hati Caputo yang terluka akibat kehilangan Kaila membuatnya jadi egois. Dia masih saja menyalahkan Jared dan Lea.
Mereka tiba di pinggir laut yang bahkan pasirnya hampir tak terlihat. Pepohonan tumbang dan batu-batu karang besar menghias tepi pantai.
Caputo yang masih ketus terhadap Jared dan Lea meminta kedua orang itu segera meninggalkan kapal. "Kalian menjauh dari kami. Saya ga ingin melihat kalian lagi."
Dengan berat hati, tetapi juga merasa kesal, Jared dan Lea pergi. Mereka segera menjauhi kapal milik Caputo. Semula, Hans ingin ikut. Namun, Kania memohon agar Hans tinggal. Dia bahkan menangis meminta pemuda itu tidak pergi bersama Jared dan Lea.
Jared dan Lea belum pergi jauh. Mereka masih memikirkan langkah selanjutnya.
Kita harus ke mana?" tanya Lea.
"Masih kupikirkan." Jared tampak seperti sedang memutar otaknya.
Belum sempat memutuskan, tiba-tiba saja angin yang begitu kencang menerjang. Air laut yang semula tenang mendadak berubah menjadi gulungan ombak yang begitu tinggi. Lea dan Jared yang masih berada di tepi pantai pun tersapu.
"Jareeed ...." Lea berusaha menggapai Jared, tapi sapuan ombak lebih dulu menerjangnya.
Begitu pula yang terjadi pada Jared. "Lea ...."
Keduanya terpisah. Mereka ditenggelamkan ombak laut. Tubuh keduanya terombang-ambing. Sesak, tak dapat bernapas. Sakit pun terasa ketika tubuh membentur pepohonan.
Jared berhasil berpegangan pada batang pohon, hingga tubuhnya tidak terbawa ombak lagi. Dia menggenggam erat benda yang mungkin dapat menyelamatkan hidupnya. Jared berhasil mengangkat kepalanya hingga kembali menghirup udara. Napasnya tersengal-sengal karena beberapa saat tak mampu bernapas. Dia menoleh ke kanan kiri, yang tampak hanyalah air laut dan pepohonan yang telah tumbang.
"Lea ...." Meski sedang dalam kondisi kesulitan, dia terus mengkhawatirkan Lea.