Sebuah bola yang sedang dimainkan Jati menggelinding hingga ke teras rumah, baru saja Jati hendak mengambilnya, gerombolan anak kecil kemudian datang untuk mengambil dan merebutnya. Jati tidak sempat protes sebab gerombolan anak itu telah lebih dahulu memasang wajah tidak menyenangkan kepada Jati. Jati mulai terisak menangis. Itu adalah bola yang dibelikan Bapak. Batinnya dalam hati.
Martini yang tengah menyetrika pakaian mendengar Jati menangis, ia lalu menghampiri anak sulungnya dan langsung mengerti apa yang baru terjadi, segerombolan anak itu langsung pergi ketika Martini mendekat pada Jati untuk menenangkan,
"Sstt.. Nggak papa, Mas Jati. Besok kita beli bola baru lagi, ya?”
Sesaat kemudian, suara deru kereta terdengar melaju dari stasiun, Martini yang tengah hamil 6 bulan menggandeng Jati tepat ke teras di depan rumah untuk melihat kereta yang tengah melintas.
“Liat keretanya, Mas." Pinta Martini sambil menunjuk menyerong ke arah atas, sebuah lahan luas tepat dimana rel kereta itu berada.
Rumah peninggalan nenek moyang Martini terletak di samping sebuah lahan menanjak yang langsung tersambung ke jalur kereta api, gaya arsitektur rumahnya masih sangat khas menggambarkan rumah adat Provinsi Jawa Tengah dan merupakan salah satu rumah yang berdiri di tanah paling luas di Kecamatan Kedungjati, sebuah wilayah terpencil di Kabupaten Grobogan yang dikelilingi oleh belantara Hutan Jati, namun menyimpan berbagai tapak kolonial peninggalan Hindia-Belanda sebagai simbol sejarah.