Kedungjati, 2009
Jati tidak pernah tau rasanya kehilangan yang datang secara tiba-tiba, atau mungkin sebenarnya ia sudah bertemu dengan berbagai pertanda namun justru Jati sendiri tidak memahami segala bentuk pertanda tersebut, yang seharusnya disadari dan dibalut menjadi firasat.
Hari ini adalah hari pertama bagi seluruh siswa memulai tahun ajaran baru. Semua seolah terjadi seperti biasanya, sebiasa pagi itu Jati menunggu bus 3/4 menuju gubug di pemberhentian depan toko kelontong Mbah Bas. Sejak dua tahun lalu, Jati dan Tyas memang bersekolah di salah satu SMP Negeri ternama di daerah Gubug, hal itu yang membuat mereka berdua selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Namun hari itu berbeda, hingga bus terakhir tiba, Jati belum juga melihat batang hidung Tyas.
Barangkali Tyas sakit. Batinnya meyakinkan diri dalam hati. Ia lalu menaiki bus terakhir tersebut meski dalam pikirannya berkerumun perasaan khawatir.
Seperti biasa, wali kelas selalu mengabsen seluruh siswa sebelum jam belajar mengajar dimulai.
“Siapa disini yang dekat dengan Tyas?” Tanya Ibu wali kelas ketika mendapati Tyas tidak menjawab panggilan absennya.
“Saya, Bu.” Jati mengaku sembari mengangkat tangan.
“Tyas kemana, Jati?”
“Saya belum dapat kabar juga, Bu.”
“Setelah jam sekolah selesai, tolong cari tau dia kemana ya, Jati.”
Tanpa diminta oleh guru pun, Jati tentu akan mencari tau alasan Tyas tidak hadir di sekolah hari ini. Ia menghampiri rumah Tyas dan hanya bertemu dengan Bu Ima, wanita penjual lempok yang juga merupakan Ibu asuh Tyas sejak usianya satu tahun. Raut wajah Bu Ima terlihat sendu ketika Jati datang. Bu Ima lebih dari tau maksud kedatangan Jati sore ini yang masih berbalut seragam putih biru sekolahnya.
“Tyas pergi, Nak.”
Jati mengerutkan dahinya bingung, “Tyas pergi kemana, Bu?”
Air muka Bu Ima muram seketika, Jati langsung tau bahwa yang akan disampaikan bukan kabar baik.
“Ibu tirinya datang tadi malam, dia jemput paksa Tyas, Nak. Nggak ada yang tau Tyas dibawa kemana. Mungkin keluar Kedungjati, keluar Jawa Tengah, atau mungkin keluar pulau.” Bu Ima hampir menangis ketika memberi penjelasan tersebut pada Jati.
Sore itu Jati seperti dihantam sebuah kabar yang menyimpan tiga hal dan sulit dipahami olehnya. Tyas pergi. Tyas memiliki ibu tiri. Tyas tidak meninggalkan jejak bagi Jati untuk mencarinya.
Sore itu pula Jati pulang ke rumah dengan perasaan paling sendu.
“Bu, Tyas pergi tanpa bilang Jati.”
“Kalau Tuhan berkehendak, Tyas pasti akan pulang, Mas.” Jati belum sepenuhnya mampu memahami arti kehendak. Ia hanya tau Tyas telah pergi, dan mungkin akan pulang, barangkali esok hari, hari lain yang entah kapan tibanya, atau bahkan tidak pernah lagi kembali.
Bagi Jati, hari-hari setelah kepergian Tyas berlalu begitu lambat, hingga tiba pada hari dimana tepat satu tahun sejak kepergian Tyas, Jati tetap teguh pada penantiannya. satu minggu lagi Ujian Nasional (UN) tiba. Ibu dan Bapak menaruh dukungan penuh pada anak sulung mereka, pun Jati yang susah payah berusaha untuk fokus ditengah kegalauannya.
“Bu, Tyas nggak kembali sampai sekarang.”
“Jati, kalau Tuhan memang berkehendak, Tyas pasti akan pulang, atau kalian akan dipertemukan lagi nanti, mungkin bukan disini, mungkin bukan sekarang.” Ibu menjeda kalimatnya, “Fokus pada ujianmu, Mas. Mayang juga, ya. Setelah kalian selesai ujian, kita akan pindah dari sini, kalian harus dapat sekolah bagus di kota nanti.”