Mengampu jabatan sebagai ketua ormawa menjadikan Jati disibukkan oleh berbagai pertemuan dan rapat di berbagai lini organisasi, baik panggilan dari ring 1 jajaran universitas hingga sekadar rapat mingguan himpunannya.
Hari itu, panggilan dari ketua Program Studi membuat Jati telat datang ke rapat ormawa fakultas yang akan membahas isu kaderisasi sehingga kehadirannya terlebih dahulu diwakilkan oleh Erzan. Barulah satu jam kemudian Jati tiba dan langsung duduk di lapisan kedua lingkaran, tepat dibelakang Erzan.
Tepat dengan kedatangan Jati, seorang perempuan tengah menginterupsi argumen dari pimpinan rapat ormawa, "Saya sedikit keberatan dengan kebijakan ini."
"Silakan Saudari Tyas untuk menyampaikan pendapatnya." pimpinan rapat mempersilakan wanita itu untuk meberikan argumennya.
Nama Tyas yang baru disebutkan oleh pimpinan rapat membuat pandangan Jati langsung tertuju pada perempuan yang setengah berdiri dan mengemukakan pendapatnya, wanita itu adalah wanita yang sama yang sama yang ia temui dan dalam sekejap menarik perhatiannya di Lawang Sewu, wanita yang telah membuat Jati melakukan pencahariannya hingga harus kembali ke Lawang Sewu hingga belasan kali.
Jati mematung ditempat ia duduk, Erzan jelas sadar perubahan air muka sahabatnya itu,
"Jat? Sehat kamu?"
"Zan, itu Tyas."
"Iya, dia ketua Himpunan Teknik Arsitektur, Jat. Cantik, ya?"
"Bukan itu, Zan. Dia perempuan yang aku cari."
Erzan seketika memahami maksud Jati. Nama Tyas adalah nama yang satu kali diceritakan oleh Jati di rooftop kost sepulang mereka dari agenda foto angkatan di Lawang Sewu. Erzan langsung ikut serta memandangi wajah perempuan yang masih mengemukakan pendapatnya dengan memberikan sebuah solusi permasalahan.
Erzan sontak menggelengkan kepala seolah tidak percaya atas takdir pertemuan yang pada dasarnya juga masih seperti mimpi di benak Jati. Ia lalu berujar sembari menepuk bahu Jati perlahan.
"Tuhan berpihak sama kamu, Jat."
Dua jam rapat itu berlangsung, mata Jati tidak juga lepas dari raga wanita si ketua himpunan itu. Ia menerka wajah yang sangat ia kenali, dan meyakinkan diri sendiri bahwa ia adalah Tyas yang ia kenal 13 tahun lalu.
Ketika forum selesai, Jati langsung meninggalkan ruangan dan mengejar Tyas yang telah berjalan keluar terlebih dahulu dari gedung pertemuan, langkah demi langkah yang ia jalani mengingatkannya pada langkah demi langkah pada hari pertama pertemuan mereka di Kedungjati. Jati tidak pernah suka kehilangan kesempatan, hingga ia memberanikan diri untuk memanggil nama itu.
“Tyas.” Panggilnya yakin, seolah memang itu Tyas yang sama yang ia cari selama ini, meskipun Jati belum sama sekali mengetahui kebenarannya.
Si empunya nama menghentikan langkah dan tampak bingung harus bertindak apa. Ia sedang berada di serba salah untuk tidak menengok pun juga untuk mengabaikan panggilan dari seseorang yang ia jelas mengenal suara milik siapa itu.
Butuh beberapa detik bagi Tyas untuk meyakinkan diri dan membalikkan badannya demi melihat ke arah seseorang yang baru menyebut namanya, sementara Jati tanpa aba-aba langsung memperkenalkan dirinya, “Aku Jati, Yas.”
Hanya butuh waktu sekejap untuk mata Tyas dilinangi air mata yang langsung ia usap dengan punggung tangan,
“Senang bertemu kamu lagi, Jati.”
“Iya, Yas. Aku juga senang, sangat senang.”
"Kemana aja kamu, Tyas?" Laki-laki itu melontarkan sebuah pertanyaan yang tingkat kesulitannya bagi Tyas berada pada tingkat bingung harus dijawab dengan jawaban apa.
“Aku senang bertemu kamu lagi.” Canggung bukan main ia ucapkan kalimat yang sama sekali tidak merepresentasikan jawaban atas pertanyaan Jati.
"Ya, aku juga. Kamu belum jawab pertanyaanku, Yas. Kemana aja kamu?"
“Apa kabar, Jati?” Tyas justru mengalihkannya dengan pertanyaan lain.