Pertemuan dan terjalinnya kembali hubungan Jati dan Tyas malam itu membuat mereka sedikit demi sedikit mulai saling mengenal kembali. Tidak dari awal memang, tapi setidaknya belasan tahun memberikan sangat banyak perubahan yang perlu dikenali satu sama lain. Tidak terasa dua bulan berlalu hingga keduanya tiba pada satu malam yang menambahkan daftar kisah dan buktitentang bagaimana takdir benar-benar bekerja dengan begitu apik pada kisah mereka.
Jati menjemput Tyas dari kampusnya setelah kegiatan perkuliahan Tyas barus selesai jam 8 malam. Jati berniat mengajak Tyas untuk makan malam bersama di sebuah warung soto daerah Banyumanik. Mereka berbincang serius mengenai isu kampus dan saling menanggapi dari sudut pandang masing-masing sebagai Ketua Himpunan, hingga berbincang mesra mengenang masa lalu mereka. Perbincangan tengah hangat-hangatnya ketika dering handphone Tyas memecah kehangatan tersebut.
Tyas membuka tas untuk mengambil handphone ketika Jati melihat sebuah buku secara tidak sengaja keluar dari tas Tyas. Ia lalu bertanya,
“Itu buku apa, Yas?”
“Ini buku sketsaku, aku suka menggambar.”
Jati lalu meminta izin untuk melihat isi buku tersebut, Tyas hanya mengangguk cepat sembari sibuk membalas beberapa pesan yang sedari tadi ia anggurkan.
Jati membuka halaman pertama dan melihat sebuah sketsa rumah, “Ini rumah siapa, Yas?”
Tyas mengalihkan pandangannya dari handphone dan memutar bola mata ke arah Jati, beberapa detik terasa hening, hingga Tyas hanya menggeleng kecil, “bukan siapa-siapa.”
Jati tidak terlalu menanggapi itu, ia membuka lagi halaman demi halaman hingga tiba pada sebuah bergambar sketsa lawang sewu.
“Ini Lawang Sewu, kan?”
“Iya, Lawang Sewu. Aku suka sekali pergi kesana. Bangunannya ngingetin aku sama Stasiun Kedungjati.”
Jati terdiam. Wanita yang ia temui di Lawang Sewu benar adalah Tyas. Wanita yang telah membuatnya kembali hingga sebelas kali meskipun mereka tidak lagi dipertemukan secara raga di tempat yang sama.
“Takdir nggak pernah salah, Yas”
Tyas langsung meletakan handphone-nya, lalu menatap wajah Jati dalam dan terheran, kemudian bertanya, “Maksud kamu?”
“Jangan pergi lagi ya, Yas?”
Tyas hanya tersenyum.
***
Barangkali bunga-bunga di hati Jati hari itu tidak semestinya hinggap terlalu lama. Layunya tiba-tiba terjadi taktala sebuah telepon masuk tengah malam menjelang pagi di gelap yang sama, telepon tersebut sempurna membuat Jati tidak lagi bisa kembali pada tidurnya, sebuah kabar ia terima dari Bapak. Ibu jatuh sakit.
“Besok pagi Bapak, Mayang dan Ibu sampai di Semarang, Ibu minta untuk di rawat di Semarang, Nak.”
Gusar sekali hatinya kala itu. Tidak ada seorang pun yang ia kontak, bahkan Erzan ataupun Tyas. Layunya sedang ingin ia simpan seorang diri dalam ruangan seluas 3x4 meter yang menjadi kamarnya.