Satu hari setelah pemanggilan dari pihak dekanat dilakukan, Jati, Erzan dan Ariq pergi menjenguk Dion yang masih diopname di rumah sakit, namun respon yang didapat ketiganya justru di luar dugaan. Dion menolak kunjungan dari mereka bertiga. Hanya Kemala dan Naren yang baginya berhak dan dibolehkan untuk menjenguk.
“Maaf, Mas. Tapi pasien minta supaya tidak menerima kunjungan dari siapa pun, kecuali Mbak Kemala dan Mbak Naren.” Seorang perawat memberi keterangan yang sontak membuat Jati, Erzan dan Ariq bingung. Setelah mengetahui persyaratan aneh itu, Jati langsung menghubungi Kemala yang juga sama dibuat bingungnya.
Kemala langsung bergegas dan tiba di rumah sakit sekitar 30 menit setelah menerima telepon dari Jati. Meski terbesit rasa curiga di kepala Jati, Erzan dan Ariq atas persyaratan yang diajukan Dion, namun tak satu pun di antara mereka yang mencoba mencari klarifikasi kepada Kemala. Kemala pun sama tidak bicaranya meski raut wajahnya memang tampak gelisah, ia langsung memasuki kamar inap Dion dengan air muka kesal,
“Kenapa kamu tolak kunjungan mereka?”
Dion menepukkan kedua tangannya tepat saat Kemala memasuki kamar inap dan melontarkan pertanyaan tersebut, “Datang juga kamu, Mal. Demi Jati, kan?” Ledeknya mencoba memancing amarah Kemala.
“Mereka datang kesini bukan tanpa sebab, Yon. Tolong terima mereka.”
“Kalau aku nggak mau?”
“Kenapa? Karena laporan palsu yang kamu buat itu?” Tanya Kemala dengan sarkas.
“Aku nggak buat laporan palsu, Mal!”
“Kalau gitu kenapa kamu tolak kunjungan mereka?”
Dion membisu karena Kemala sempurna benar.
“Setidaknya satu kali ini aja, Yon. Aku mohon.”
Dion hanya menghela nafas, sebelum akhirnya pasrah, “Oke, bawa mereka masuk. Hanya untuk satu kali ini aja.”
Air muka Kemala menunjukkan rasa lega karena usaha lobbying-nya berhasil. Ia lalu keluar dari ruangan dan pergi menuju lobby rumah sakit untuk mengantarkan Jati, Ariq dan Erzan ke kamar inap Dion.
“Udah baikan, Yon?” Ariq menyapa Dion terlebih dahulu dengan sebuah pertanyaan pembuka, yang hanya dibalas dengan anggukan kecil.
Obrolan demi obrolan terjadi meski dengan suasana yang sangat kikuk. Ariq seolah berperan sebagai pionir yang susah payah berusaha mengalirkan pembicaraan. Sementara Kemala hanya diam di sudut ruangan, tidak banyak mencampuri obrolan keempat lelaki di hadapannya hingga sebuah topik inti dimunculkan oleh Jati, permintaan maaf atas apa yang tidak ia lakukan.
“Yon, aku disini selaku ketua himpunan, yang juga menjadi penanggung jawab kegiatan kaderisasi, mau minta maaf sebesar-besarnya atas kejadian yang sungguh di luar skenario proses kaderisasi.”
Air muka Dion berubah, ia tampak semakin kikuk mendengar permintaan maaf yang terlontar secara langsung dari mulut Jati. Baginya kini, suatu kesalahan besar ia lakukan membiarkan ketiga laki-laki ini menjenguknya, ia tahu arah pembicaraan akan berakhir di permohonan pencabutan laporan palsu yang ia buat saat pihak dekanat meminta keterangan.
“Aku juga sama, Yon. Aku selaku pendamping Jati, pun merasa bersalah karena nggak bisa cegah Galang untuk menyerang kamu.”
“Pun aku, Yon. Selaku ketua angkatan, yang seharusnya melantik kamu, meminta maaf atas kejadian yang sama.”
Belum sempat Dion memberi respon atas permintaan maaf itu, satu telepon tiba-tiba masuk ke handphone Jati. Layarnya menampilkan sebuah panggilan dari Bibi Asri yang merupakan adik Bapak. Panggilan pertama ia tolak karena rasanya tidak etis dalam suasana tegang seperti yang tengah terjadi, tapi kemudian handphonenya berdering kembali untuk kedua kali.
“Angkat aja telponnya, nggak usah terlalu formal. Saya bukan dosen kalian.”
Jati hanya mengangguk kecil, ia lalu pamit keluar ruangan untuk menerima telepon yang sama sekali ia tidak duga akan membawa kabar pilu baginya, “Bapak di rumah sakit. Segera pesan tiket pesawat tercepat.”
Jati mematung untuk beberapa saat hingga akhirnya kembali masuk dan langsung berbisik pada Erzan dan Ariq, “Bapak masuk rumah sakit. Aku harus segera pulang. Secepatnya aku akan kembali ke Semarang.”
Ia lalu berpamitan pada Dion yang juga masih bertanya-tanya, pun juga Kemala.
Seperti belum lama dukanya atas kepergian ibu tiba menimpa keluarganya, kini ia ditimpa dengan kabar lain. Perjalanan dari satu kota ke kota lain kini tidak seindah perjalanan yang lalu-lalu. 45 menit perjalanan dengan pesawat rasanya menjadi begitu lama. Posisi duduknya yang berada tepat di samping jendela membuatnya mampu secara jelas melihat hamparan awan yang seorang dibelah oleh sebuah alat transportasi raksasa. Biasanya ia selalu suka pemandangan tersebut, tapi kali ini tidak. Pikirnya terlalu kalut meminkirkan apa yang tengah terjadi pada bapak.
Bibi Asri telah berdiri di depan pintu kamar Bapak ketika Jati tiba di rumah sakit. Mayang telah lebih dahulu tiba dari Jogjakarta, satu jam sebelum kedatangan Jati. Dari jendela, Jati dapat melihat adik semata wayangnya tengah menyuapi bapak. Ia lalu membuka pintu kamar, Mayang memandangi diri mas-nya yang berjalan pelan-pelan menuju ranjang, ia salami tangan kanan bapak dan berkata lirih, “Jati pulang, Pak.”
“Bapak sudah repotkan kamu ya, nak?” Bapak bertaanya dengan begitu lirih, wajahnya juga tampak pucat.
“Nggak, Pak. Nggak direpotkan sama sekali.”
Jati berusaha bercengkerama dengan Bapak dengan ekspresi menghibur, seolah itu adalah perbincangan seperti biasanya, meski hatinya masih belum percaya dengan kemalangan yang baru saja terjadi. Namun nihil, semakin banyak ia berusaha, justru semakin ia merasa sakit. Sakit akibat belum mampunya memahami penerimaan masalah baru.
“Bapak kalian terjangkit stroke, hanya stroke ringan, tapi bibi rasa kalian perlu pulang untuk melihat sendiri kondisi bapak kalian.” Bibi Asri menuturkan kondisi bapak kepada Mayang dan Jati di kantin rumah sakit ketika bapak sedang tidur siang dalam penjagaan pamannya. Stroke ringan yang diderita bapak membuat setengah badannya lumpuh, ia tidak mampu lagi berjalan.
Jati dan Mayang lagi-lagi ditimpa ujian.
Siang hingga malam terlewati begitu lama. Selepas menunaikan shalat isya di masjid rumah sakit, Jati melihat layar handphone-nya yang seharian tidak sempat ia periksa.
Lima panggilan tak terjawab dari Tyas, delapan panggilan tak terjawab dari Erzan, dan sepuluh panggilan tak terjawab dari Kemala. Sementara orang pertama yang ia hubungi balik adalah Tyas, yang entah bagaimana tiba-tiba ia rindukan.
“Jati?” Mendengar suara Tyas dari seberang membuat Jati merasa lebih tenang.
Jati diam sejenak hingga akhirnya memberi sebuah kabar, “Yas, Bapak sakit. Stroke ringan.”
Kali ini giliran Tyas yang diam.
“Maaf aku pergi tanpa beri kamu kabar.”
“Nggak perlu minta maaf, tadi aku hanya khawatir, Jati. Kamu nggak ada kabar seharian. Erzan bilang kamu pulang.” Satu-satunya teman yang mengetahui baik hubungan Jati dan Tyas adalah Erzan, mereka sering kali bertemu, dan sempat saling bertukar kontak.
“Makasih, Yas.”
“Jati? Perlu aku samper kamu ke cilegon besok pagi?”
“Nggak, Yas. Nggak perlu. Kamu fokus kuliah aja, urusan organisasimu juga pasti sedang repot, kan?”
“Kamu yakin?”