Intensitas pertemuan Jati dan Tyas memang berkurang karena waktu Jati yang banyak terpangkas di lokasi pekerjaannya. Namun tidak sama sekali membuat hubungan mereka merenggang. Justru sebaliknya menjadi lebih hangat dan akrab.
Kalau biasanya rutinitas pacaran mereka lakukan adalah saling bertukar kisah dan saling memberi dukungan satu sama lain di malam hingga menjelang penutup hari, kali ini mereka membuat rutinitas baru, Tyas yang lebih banyak datang ke kontrakan Jati, mereka bersenda gurau bersama bapak disana. Tyas juga sering secara sukarela memasak di dapur kontrakannya untuk dimakan bersama Jati dan bapak, dengan bahan-bahan yang ia beli bersama Jati di pasar tradisional dekat lokasi kontrakan.
Bapak sangat senang dengan kedatangan Tyas yang seolah memberikan keceriaan baru bagi keluarganya. Tyas memang selalu memberikan aura baik bagi keluarga Jati.
Dulu ibu tatkala ia berbaring lemah di rumah sakit, kemudian Mayang ketika ia hendak melakukan jian masuk perguruan tinggi negeri, dan saat ini bapak, meski dengan intensitas pertemuan dan jenis perhatian dan candaan yang berbeda.
Ketika Mayang sedang berada di Kota Semarang, Jati selalu mengundang Tyas untuk berkunjung. Mereka sering bertukar cerita tentang kehidupan kuliah masing-masing. Tanpa Tyas sadari, ia telah memberikan banyak motivasi pada perempuan yang telah ia anggap seperti adiknya sendiri.
Kuliah Jati sedikit berantakan meskipun pekerjaannya semakin membaik. Ia telaten dalam melakukan setiap pekerjaannya. Ariq juga sering datang ke lokasi pekerjaan Jati, diam-diam ia sering membantu Jati ketika bosnya sedang tidak ada di lokasi pekerjaan.
“Gimana rasanya kerja?”
“Yah, capek, tapi cukup puas.” Jati menjeda kalimatnya, “Tapi memang jadi salah satu pengalaman yang paling berharga dalam hidup. Perjuangan untuk cari uang nggak mudah.”
Ariq tersenyum mendengar kalimat atas perasaan Jati yang sempat juga ia rasakan beberapa tahun silam.
Pasca maghrib ketika mereka menikmati kopi sebelum kembali pulang, Ariq membuka pembahasan dengan Jati.
“Ngomong-ngomong, Jat. Aku udah susun kepanitiaan KKL, kami juga udah kumpul kepanitiaan buat rancang konsep dan segala persiapan kepanitiaan.”
“Bagus dong, Riq.”
“Kamu.. ikutkan?”
“Aku belum tahu, Riq. Kamu tau sendiri kan kondisi keluargaku sekarang gimana.”
“Kalau ini soal keuangan, kami bisa Jat bantu kamu.”
“Riq, jangan. Aku nggak suka mengemis.”
“Kamu bukan mengemis, Jat. Aku dan teman-teman hanya ingin mengusahakan.”
“Riq, ini keputusanku.”
“Aku selalu hargai keputusanmu, Jati.”
KKL memang telah menjadi suatu agenda yang tidak dapat dilewatkan dan telah menjadi tradisi angkatan dari tahun ke tahun. Acara ini akan menyatukan kembali setiap anggota angkatan dan akan menjadi acara paling bergengsi selama mereka berkuliah, pun akan juga menjadi acara yang tidak pernah mereka lupakan. Setiap mahasiswa tidak sabar menanti setiap momen yang akan dilaksanakan pada kegiaran KKL.
Sebelum kelas dimulai, Ariq memberikan pengumuman tersebut di depan kelas bersama dengan beberapa panitia lainnya. Pengumuman itu disambut dengan antusiasme tinggi oleh seisi kelas, kecuali Jati. Hanya Kemala, Ariq dan Erzan yang menyadari hal tersebut. Mereka bertiga memiliki asumsi yang sama, Jati enggan mengikuti kegiatan ini karena beberapa hal yang tidak bisa ia tinggalkan, bapak dan pekerjaan. Atau mungkin juga kendala keuangan? Semua masih menjadi asumsi.
Erzan beberapa kali mengajak Jati bicara untuk mendaftarkan dirinya pada acara KKL, tapi nihil. Jawaban Jati selalu sama, dan tidak sedikit pun berubah seolah itu memang satu-satunya keputusan bulan yang tidak dapat diganggu gugat.
Hari demi hari ketika mahasiswa angkatannya mulai menyiapkan acara KKL, Jati justru semakin disibukkan dengan pekerjaannya, hingga sempat membuat Jati keteteran untuk mengejar beberapa ketertinggalan mata kuliah. Pernah pada suatu hari Jati lupa mengerjakan tugas mata kuliah Manajemen dan Teknologi Produksi Kapl yang diampu oleh Pak Sentosa -akrab dipanggil Pak Sen-. Pak Sen terkenal galak pada seluruh mahasiswa tanpa pandang bulu, tapi baik hati bukan main pada mahasiswi, terutama mahasiswi yang memiliki paras cantik seperti Kemala si bidadari program studi.
Hari itu, ketika Pak Sen hendak menyelesaikan jam mata kuliah, ia mengecek tugas yang ia berikan seminggu yang lalu. Jati yang saat itu duduk di samping Kemala hendak mengakui kesalahannya karena tidak mengerjakan tugas tersebut. Tapi ditahan oleh Kemala seketika,