Satu tahun berlalu cepat. Seluruh undangan wisuda periode 168 telah berada di tangan para calon wisudawan dan wisudawati yang akan melangsungkan wisuda esok hari, termasuk Erzan, Ariq, Gerry, Kemala dan Naren. Jati tidak berhasil mengejar target wisuda tepat pada waktunya, beberapa hal menghambatnya dalam pengerjaan proposal skripsinya.
Malam sebelum hari wisuda periode 168 tiba, Ariq, Erzan, Jati dan Gerry memutuskan untuk menghabiskan malam bersama di kedai Diluar Kopi yang letaknya di daerah sisimangaraja, konsep cafe itu adalah outdoor dengan lokasi yang berada di dataran tinggi sehingga tempat itu memperlihatkan secara indah lampu-lampu kota Semarang. Ingatannya tiba-tiba terlempar pada hari pertama ia tiba di Kota Semarang, ketika lampu-lampu kota juga menyambutnya, dan ketika bapak mengutarakan pendapatnya tentang kota ini, Indah yang nggak bisa dideskripsikan dengan kata, semua harus dirasakan sendiri.
Keempat orang itu memilih tempat lesehan, sebuah tikar digelar oleh seorang barista kopi yang beberapa menit kemudian juga mengantarkan empat gelas pesanan kopi kepada mereka.
Ariq membuka obrolan ringan dengan kenangan-kenangan yang telah mereka lalui selama menempuh masa kuliah, mulai dari masa kaderisasi mereka ketika masih merupakan mahasiswa baru yang rambutnya bersih karena aturan botak, hingga perjuangan ketika mereka tengah menempuh sktipsi, mulai dari saling menertawakan hal yang lucu, juga mengenang hal-hal sedih, meskipun setiap dari mereka tahu. Hal yang mereka tertawakan sekarang sempurna hanya akan tersimpan rapat sebagai kenangan. Perbincangan terus larut hingga tiba pada saat Jati bertanya ke satu per satu temannya tentang rencana setelah lulus, padahal bahasan itu sungguh telah disepakati oleh Ariq, Erzan dan Gerry untuk tidak diungkit demi menghargai Jati yang belum akan wisuda hari esok.
“Aku sudah pasti balik ke Medan.” Gerry memulai untuk menjawab.
“Baguslah, bangun itu daerahmu.” Ariq menanggapi.
“Iyalah, kan aku rantau agar bisa balik.”
“Kamu gimana, Zan?” Jati mengarahkan pertanyaannya pada Erzan.
“Aku juga balik ke Bekasi.” Erzan menjawab santai.
“LDR dong sama Mala?” Jati menanggapi dengan pertanyaan.
“Iya, dia nggak mau gua ajak kerja di Bekasi.”
“Mala juga mikir kali mau dibawa ke gurun sahara kayak gitu.” celetuk Gerry.
“Sembarangan kau Ger.” umpat Erzan dengan logat medan yang sontak mengundang tawa tiga orang lainnya.
“Ariq?”
“Ya sama sih, aku juga balik, udah saatnya balik gawe kayak dulu. Rindu juga lama-lama aku sama suasana proyek dan pelabuhan.” Jawab Ariq.
“Eh, Jat. Ngomong-ngomong, Tyas ikut wisuda besok, kan?” Gerry tiba-tiba melontarkan sebuah pertanyaan pada Jati.
Erzan langsung mengarahkan pandangannya kepada Jati. Selama ini, kegusaran hati yang mengganggu Jati hanya diketahui Erzan sebagai sahabat terdekatnya. Kegusaran itu juga termasuk mengenai perpisahan yang dimungkinkan akan terjadi pasca kelulusan.
“Iya. Salah satu hal yang buat aku nyesal nggak bisa lulus periode ini ya karena Tyas. Aku kadang ngerasa gagal.”
“Nggak perlu pesimis, Jat. Setiap orang punya giliran, dan kita semua, terutama kita berempat disini, tau, kamu adalah orang yang paling punya pengalaman berkali lipat lebih depan daripada kita, Jat.” Ariq seperti biasa memegang peran bijaksama untuk menguatkan Jati.
“Makasih, Riq. Lagian udah terjadi juga.” Jawab Jati pasrah. “Ngomong-ngomong, kayaknya kita harus bikin reuni deh.”
“Aku setuju.”
“Ke Medan lah.” Celetuk Gerry asal.
“Bah, jauh kali.” Erzan protes lagi-lagi dengan logat khas medan meniru Gerry.
Satu per satu pengunjung mulai pulang ketika jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Beberapa barista telah mengangkat kursi dan membereskan peralatan, namun tidak satu pun dari anggota garuda bangkit dari duduknya. Semua terlalu asyik dalam obrolan dan seolah sama-sama sengaja tidak ingin malam itu berakhir karena cafe yang tutup.
“Sudah malam, besok lagi ya.” speaker kedai kopi itu memutar google voice secara sengaja, sang barista berniat menyindir secara halus dalam rangka mengusir empat mahasiswa tersebut.
Keempatnya saling menahan tawa, seolah tanpa rencana telah berhasil membuat sang barista kesal. Mereka akhirnya bangkit dari duduk dan kembali pulang ke kost garuda, termasuk Jati.
“Sejauh apapun pergi tetep ajaya, baliknya ke Garuda.” Ujar Ariq.
Sudah lama Jati tidak menginjakkan kaki di rooftop ini. Rooftop yang menyimpan banyak kenangan berkisahnya dengan sahabat-sahabat terbaik yang pernah ia kenal.
Gerry tiba-tiba memetik gitarnya.
“Mau lagu apa kalian?”