Rumah pertama yang Jati kunjungi siang itu setibanya di Kedungjati adalah Rumah Tyas, meski ia tidak tahu apakah Tyas masih berada di rumah itu atau tidak. Bu Ima dengan wajah yang mulai menua membuka pintu rumah tersebut.
"Saya cari Tyas, Bu."
"Kamu Jati?" Tanyanya samar-samar seolah menerka wajah Jati setelah bertahun-tahun mereka tidak bertemu.
"Iya, saya Jati, Bu."
Wanita itu lalu memasuki rumah, hanya berselang dua menit ia lalu keluar dengan membawa sebuah amplop dan yang sudah menguning bersama dengan satu kotak putih yang Jati tau persis kotak itu, ia lalu menyerahkan kedua barang tersebut pada Jati.
"Tyas titip ini untuk kamu."
"Tyas dimana, Bu?"
"Nggak sampai hati bahkan ibu sampaikan. Surat itu pasti akan beri tahu keberadaan Tyas. Jangan kemari lagi, Nak." Bu Ima langsung menutup pintu rumah, meninggalkan Jati yang masih mematung dengan sebuah kotak dengan sebuah surat
Di seberang stasiun, tempatnya biasa menghabiskan sore bersama Tyas, ia membuka kotak tersebut. Sebuah jarik milik ibu terlipat rapi di dalamnya. Dengan segera ia lalu membuka amplop yang telah menguning, lamat-lamat ia baca rangkaian kalimat yang dituliskan dengan tulisan yang amat rapi, tulisan tangan Tyas.
Teruntuk Jati,
Selamat wisuda, Jati. Maaf aku tidak menyertai hari bahagiamu.
Sengaja aku titipkan surat ini pada Bu Ima, karena aku tahu, hanya kamu yang akan mencariku sampai ke Kedungjati.
Jati, surat ini adalah surat balasanku atas surat yang kamu titipkan pada Bu Ima delapan tahun yang lalu. Aku berbohong kala kamu bertanya tentang balasan surat itu, aku telah menerima suratmu, Jati. Senang bukan main aku di hari itu menerima suratmu, hanya saja aku tidak kuasa untuk membalas suratmu, aku terlalu malu mengakui siapa diriku sebenarnya, terlebih lagi, aku takut kamu telah melupakanku.
Sejatinya hanya kamu laki-laki yang bagiku tidak sejengkal pun pergi dari hati dan ingatanku. Kamu laki-laki yang selalu aku cintai dan aku rindukan. Bahkan setelah bertahun lamanya, cintaku justru tumbuh semakin besar.
Jati, kamu ingat ketika kamu bilang bahwa kamu gagal mengarungi lautan dengan kapalmu? Kamu tidak gagal, Jati. Kamu telah melewati badai itu. Bapakmu lebih dari benar, kamu adalah kapal yang kuat, dan itu adalah alasanku untuk semakin mencintaimu bahkan setelah puluhan purnama. Jati, perjalananmu masih panjang, lautan yang akan kau arungi semakin luas, dan badai yang kamu arungi akan semakin dahsyat. Kuat, Jati. Aku selalu percaya, kamu kuat.
Jati, izinkan aku memperkenalkan diri sebagai orang lain. Namaku Ayu, Ayu sekaligus menjadi alasanku menolak permintaan penantian untuk lamaranmu yang kau kira tanpa alasan.
Kamu salah. Aku punya alasan, Jati.