Eskapisme

Geofanny Oktaviani
Chapter #2

Kegilaan

“Ke mana perginya semua makhluk kecil itu?” tanya Kefi.

“Mau jalan-jalan mengelilingi kastil ini dan mencari mereka?” usul Toska.

“Itu ide yang bagus.”

“Dan sayangnya tidak perlu dilakukan—kecuali kalian berdua memang ingin jalan-jalan saja,” kata satu suara baru. Suara laki-laki. “Aku tahu di mana para Novas itu berada sekarang. Hanya dengan satu juta koin emas Arthera, kalian juga bisa mengetahuinya.”

“Demi Laniakea. Kraya? Bisakah untuk tidak selalu berdagang? Mereka itu raja dan ratu kita,” suara baru lainnya menimpali. Suara perempuan.

Toska dan Kefi berpandangan bingung.

“Mereka yang rajin membuka pintu usaha sangat disukai kesempatan, Maria sayangku,” kata laki-laki bernama Kraya itu. “Bayangkan memiliki satu juta koin emas Arthera. Kita bisa menikah hari ini juga dan membeli rumah yang bagus di pesisir Idyllica.”

“Aku setuju. Itu bayangan yang sangat indah, sayang,” kata Maria. “Tapi bisakah kita membayangkan untuk membantu raja dan ratu kita saja dulu sekarang?”

“Maaf?” Toska menginterupsi. “Tapi kalian berdua ada di mana, ya?”

“Apakah kalian hantu?” Kefi menambahkan.

“Yang Mulia sekalian, bagaimana jika lima ratus ribu koin emas Arthera untuk informasi seputar keberadaanku dan kekasihku saat ini?”

“Kraya! Jadi itu tujuanmu waktu mengusulkan kita harus bersembunyi saat mereka tiba di ruang makan? Oh, demi Laniakea! Maafkan kami, Yang Mulia! Kami ada di atas sini!”

Toska dan Kefi mencari-cari, mendongak ke langit-langit ruang makan. Mereka menemukan Kraya dan Maria sedang berdiri sambil berpegangan di puncak tempat lilin raksasa berhiaskan kristal.

“Selamat pagi, Yang Mulia,” sapa Kraya dan Maria bersamaan. Kraya melompat turun duluan dari atas tempat lilin ke lantai ruang makan. Mendarat dengan ringan seperti seekor kucing. Maria melompat kemudian dan mendarat tepat di dekapan kekasihnya. Mereka berjalan ke depan Toska dan Kefi, bersimpuh menghormat.

Kraya adalah seorang laki-laki ramping, tegap. Tinggi dan usianya menyamai Toska, tapi ia berkulit gelap, bermata sipit. Ekspresi wajahnya sepalsu topeng dan warna rambutnya perak tak natural. Ia mengenakan jubah cokelat besar, bertudung. Semua kejutan yang ia miliki tersimpan rapi di baliknya dan selalu siap dikeluarkan.

Berada di sebelahnya, Maria terasa sangat bertolak belakang dengan Kraya. Ia adalah seorang perempuan berkulit putih—meski tak seputih Kefi. Satu-satunya tempat untuk mengetahui itu adalah segaris ruang tak terlalu besar yang memperlihatkan sepasang mata hijau terang. Maria mengenakan cadar putih tak bercela, juga jubah putih panjang yang membungkusnya dari puncak kepala sampai telapak kaki.

“Namaku Kraya, rakyat Arthera yang setia—abdi kalian. Aku melakukan banyak hal sebelum Jeda. Tentu saja semuanya demi keuntungan bangsa kita. Soal kemampuanku, singkatnya, aku bisa menjual dan mencuri apa pun pada, dan dari, siapa saja.”

“Nama saya Maria Vermillis, Yang Mulia sekalian. Saya putri tunggal keluarga Vermillis dari Rafiel. Salam perdamaian. Doa saya kepada Laniakea yang senantiasa melimpahkan kebahagiaan di dalam umur panjang kalian.”

“Namaku Toska. Silakan berdiri.”

“Namaku Kefi.” Ia maju membantu Maria berdiri. “Jadi, Kraya dan Maria, kalian tahu ke mana perginya semua makhluk kecil itu? Kami berpesta semalaman bersama mereka di ruangan ini.”

“Ya. Mereka pergi menjadi matahari, seperti seharusnya.” Kraya menunjuk ke arah jendela seluas dinding yang gorden merah mewahnya terbuka di sebelah kanan ruang makan.

“Menjadi matahari?”

Kraya tersenyum jenaka. “Ya, Raja Toska. Menjadi matahari. Karena mereka, para makhluk kecil itu—bangsa Novas, sebagaimana kami menamainya sejak Awal Waktu—merupakan peri bintang.”

Lihat selengkapnya