Eskapisme

Geofanny Oktaviani
Chapter #3

Harapan dan Bukan Harapan

“Dengarkan aku dan percayalah! Menjelang akhir zaman, matahari akan menemukan raja dan ratu mereka!” Seorang gadis berpenampilan gelandangan, meneriakkan kalimat itu berulang-ulang. Ia berdiri tegak di atas peti kayu di tengah pasar, pada suatu hari gerimis di Awal Waktu.

“Oh, sialan. Demi Ibuku yang cerewet! Si peramal kurus itu lagi! Usir dia segera! Atau buang saja sekalian ke tempat pendaur ulang sampah terdekat!” Ketua tim patroli polisi ibukota berteriak pada anak buahnya.

Mereka langsung mengepung gadis gelandangan bernama Selena itu.

“Kaudengar perintah Kapten tadi, hey! Berhenti, gembel! Ikut kami! Berhenti kataku!”

Tapi Selena tak pernah berhenti.

“Perang Adaym dan Loolith yang diwariskan kepada bangsa Halos dan Novas akan berakhir di planet ini—Tir Novellus!” ia berseru. “Kita semua akan kembali ke dalam Ingatan!”

“Tidak mau dengar, ya? Makan ini dan kembalilah kepada kenyataan, orang aneh!”

Salah satu polisi memukul keras wajahnya. Selena jatuh dari atas peti, darah mengalir turun dari hidung dan bibirnya yang pecah, tapi ia langsung berdiri lagi.

“Saudaraku! Saudariku! Kita harus bersatu!” ia melanjutkan. “Dari Idyllica di timur, Rafiel di utara, dan ibukota—Narla—di barat sini! Bersatulah untuk mempertanyakan kebenaran pada mereka yang ditakdirkan untuk membawakannya! Para Raja dan Ratu matahari!”

“Oh, persetan! Hajar saja kepalanya yang keras sampai lembek!”

Lebih banyak pukulan didaratkan. Kali ini, sebelum bisa berdiri, tendangan-tendangan bersepatu bot dari para polisi patroli lanjut menyakiti Selena secara bertubi-tubi. Tak bisa bangun, gadis gelandangan itu tetap tidak menyerah. Ia terus meneriakkan ayat-ayat Ramalan dalam jatuhnya.

“Ber ... satulah ... bersatulah ... bersatulah Arthera ...!”

“Heh, bersatu? Bersatu katamu, begundal?! Bersatu dengan para pemberontak di Idyllica? Bersatu dengan barisan orang sok suci di Rafiel? Kau ini sudah pasti anak haram dari Mimpi dan Imajinasi!” Ketua tim patroli meludahi Selena yang masih terkapar dan tetap mencoba terus berteriak menggunakan sisa suaranya. “Arthera tidak membutuhkan perbedaan seperti itu! Sepertimu! Kita bukan bangsa barbar seperti negara Mharath di seberang lautan sana! Sekarang, atas nama hukum, aku akan mengeksekusimu di sini!”

Pistol sudah ditarik dari sarungnya dan siap ditembakkan, saat terdengar seorang nenek berteriak, “TOLONG! PAK POLISI! TASKU YANG ISINYA SLIP GAJI SELAMA ENAM BULAN DIJAMBRET PEMUDA TAMPAN ITU!”

Lalu terdengar ledakan dari sudut lain pasar. Lebih banyak orang meminta tolong. Berteriak heboh bahwa ada kebocoran pada pipa gas, teroris, dan lainnya.

“Kurang ajar! Berani membuat keributan ketika aku berpatroli? Gangster di tempat ini benar-benar cari mati! Kalian bertiga ikut aku ke lokasi ledakan—kalian berdua bantu si nenek bodoh itu dan pastikan ia mendapatkan kembali haknya.”

“Bagaimana dengan gadis gila ini, Kapten?”

“Kita akan membiarkannya untuk kali terakhir. Ayo bergerak! Ada masalah di tiap sudut pasar sialan ini! Demi Ayahku yang galak!”

“Eh? Baiklah, Kapten!”

Tim patroli meninggalkan Selena yang babak belur dan masih terkapar di permukaan becek pasar ibukota, begitu saja.

Perlahan-lahan gerimis berubah menjadi sangat deras. Percikan air di sekitar memantul seperti jarum-jarum dingin yang berkumpul setebal kabut. Selena mencoba berdiri, bertumpu dengan punggung tangan, tapi kemudian terjatuh terjerembap lagi karena tubuhnya terlalu lemah.

Gadis itu siap menangis pedih. Tak ada satu pun orang di pasar yang ramai ini mau datang membantu. Sampai ia merasakan hujan memang sudah benar-benar berubah deras, dan lewat matanya yang hanya bisa dibuka setengah, ia melihat orang-orang berlarian melewatinya untuk mencari tempat berteduh. Sementara sebagian lagi tetap larut dengan aktivitas jual-beli di bawah tenda atau kios masing-masing.

Suatu ilusi muncul menghangatkan hatinya.

“Mereka bukannya tidak peduli,” ia menggumam. Mulutnya yang teramat perih dan merah pudar berhasil menyunggingkan senyum simpul. “Mereka hanya sedang sibuk. Ya. Aku hanya perlu menunggu sedikit lebih lama lagi.”

Pada saat inilah Selena tak lagi merasakan derasnya dingin hujan menghunjam sekujur tubuhnya. Ia bahkan bisa kembali berdiri.

Itu karena seseorang akhirnya datang membantu. Sepasang suami-istri. Bergerak memayunginya dan memapahnya pulang ke rumah.

Merekalah yang menciptakan skenario pengalih perhatian—seorang nenek yang kecopetan dan ledakan tadi—agar tim patroli pergi.

Merekalah seseorang yang memercayai seluruh cerita si gadis aneh itu.

Sang Malaikat ... begitulah mereka menjuluki Selena setelah mengadopsinya ke dalam keluarga.

Mereka adalah harta karun paling berharga, cahaya harapan, untuknya yang selalu berjuang sendirian di dalam kegelapan.

Mereka—sepasang suami-istri baik hati itu—adalah calon kedua orangtua Errard.

Kedua tokoh yang nantinya menyebarkan sekaligus mengabadikan semua Ramalan Selena.

Ramalan tentang Perpustakaan Ingatan. Tentang munculnya raja dan ratu matahari menjelang akhir zaman. Juga tentang orang-orang—seperti Kraya dan Maria—yang ditakdirkan untuk membantu para penguasa itu berlomba menunjukkan kebenaran mereka.

“Jadi, Selena sang Malaikat, tolong ingatkan aku. Ketika tiba saatnya,” kata ayah angkatnya di suatu siang yang cerah di bawah pohon rindang, “apa yang harus dilakukan penghuni planet ini untuk bertahan?”

Lihat selengkapnya