Eskapisme

Geofanny Oktaviani
Chapter #4

Sendirian

Kabut keemasan perlahan memudar. Idem sudah selesai menunjukkan kepada Toska dan Kefi ilmu pengetahuan tentang Perpustakaan Ingatan, sekaligus Tir Novellus.

“Kurasa, aku sudah mulai mengerti sekarang,” kata Toska.

“Ya. Aku juga,” kata Kefi. “Kita berada dalam masalah besar.”

“Benar. Walaupun, tentu saja, masih ada kemungkinan bahwa semua ini hanya mimpi. Kita bisa terbangun kapan saja dan mendapati bahwa semua baik—”

“Baik saja?” Kefi memotong. “Tidak, Toska, tidak untukku.”

“Apa kau yakin? Seburuk apa memangnya kenyataan yang kaumiliki?”

“Sangat buruk.”

“Lebih buruk dari semua ini, Kefi, sungguh?” Toska memerhatikannya. “Lebih buruk daripada mendadak menjadi raja dan ratu yang harus menentukan nasib suatu semesta?”

Kefi mengangguk pelan.

Toska bersiul. “Baiklah.”

Mereka berdua masih duduk di kursi berbantal di wilayah cekungan. Menunggu sisa kabut keemasan memudar hingga menghilang sepenuhnya.

Tiba-tiba Kefi tertawa pelan.

“Jangan khawatir, itu hanya stres,” kata Toska.

“Apa maksudmu?”

“Situasi yang menegangkan terkadang membuat kita tiba-tiba tertawa seperti itu.”

“Bukan, bodoh.” Kefi tertawa lagi. “Aku sedang memikirkanmu.”

“Oh, oke. Aku tidak tahu harus merasakan apa sekarang.”

“Lebih tepatnya, aku memikirkan tentang kenyataanmu,” Kefi melanjutkan, tersenyum. “Begini. Di taman kastil kaubilang kenyataanmu juga kurang baik, tapi dibandingkan dengan situasi kita saat ini, kenyataanmu itu ternyata masih bisa dijadikan tujuan pulang yang menyenangkan, ya?”

“Salah,” kata Toska.

“Kau tidak perlu menyangkalnya. Tenang saja, aku bukannya cemburu, ingin merebut kenyataanmu, dan semacamnya. Aku mengerti, sebagian orang memang terlahir beruntung.”

“Tidak, Kefi. Kau hanya salah.”

“Ya? Coba jelaskan.”

Toska tersenyum. “Begini. Aku bermimpi untuk menghindari kenyataan yang kurang baik. Lalu, di dalam mimpiku, ternyata aku menemukan sesuatu yang sama buruknya, dan ingin pulang saja. Kau mengerti, Kefi? Singkatnya, aku hanya seseorang yang gemar melarikan diri.”

“Kurasa itu bukan sesuatu yang pantas untuk dibanggakan.”

“Apa aku terdengar bangga saat mengatakannya?”

“Kurasa, entahlah.” Kefi mendesah, melamun. Kabut keemasan hanya merupakan tirai asap tipis yang bisa lenyap seluruhnya kapan saja sekarang. Wilayah cekungan sudah mulai membentuk bersama sisa bagian dalam perpustakaan. Terlihat samar juga Maria berdiri menunggu di anak tangga terdekat. “Toska?”

“Ya, Kefi?”

“Jika kembali kepada kenyataan merupakan satu-satunya alasan ... untuk tidak mencoba melakukan sesuatu terhadap peran kita di semesta ini, apakah kau mau membantuku menyelesaikan semuanya? Saat mengetahui bahwa ternyata memang tidak ada jalan keluar lain selain itu?”

“Hm, tentu saja aku mau. Siapa yang tidak?” Toska tertawa. “Terjebak selama mungkin bersama gadis cantik di situasi yang menegangkan. Aku hampir rela bertaruh nyawa kalau kita sudah saling mencintai besok.”

Masih melamun, Kefi mendengus tersenyum. “Ya. Dalam mimpimu, bodoh.”

“Oke. Alasan bagus lainnya untuk menganggap ini semua hanya mimpi, kalau begitu.”

Kefi menghela napas panjang, bersandar di kursinya, dan memejamkan mata. “Sejujurnya, menyelamatkan semesta ini bakal lebih mudah daripada mencoba untuk membuatku jatuh cinta lagi.”

Lihat selengkapnya