“Kenapa Raja Toska dan Ratu Kefi bertarung tanpa Portal? Maria? Kenapa kau tidak menyampaikan seluruh pesanku pada mereka?” Di ambang kesadarannya yang dingin, mengerjap, dan terdistorsi, Toska mendengar suara Kraya. Kecewa.
Lalu muncul suara Maria. Mengatakan serak, seperti tangisan, “Aku panik, Kraya, memikirkanmu menahan Errard di luar sana ... demi Laniakea ... semua peristiwa mengerikan itu benar-benar datang dan pergi dengan terlalu cepat ... tidak terduga—”
“Seandainya Yang Mulia sekalian menggunakan Portal mereka ... kita seharusnya bisa mengalahkan Errard saat itu juga—dan kau mengetahui ini!” Kraya memotong, meninggikan suaranya. “Kemenangan untuk mengakhiri satu kegilaan paling tua di Tir Novellus ... kita telah ... membuangnya. Ya. Begitu saja!”
“Maafkan aku ....” Suara Maria lagi, kali ini jelas diteruskan dengan isak tangis.
“Dan sekarang, pukulan terbesar dari kekalahan ini. Aku tidak tahu secepat apa kita bisa bangkit darinya.” Terdengar Kraya menghela napas panjang, sebelum melanjutkan, dengan lebih frustrasi, “Kita akan terus berjuang tanpa sang Ratu.”
“Errard tidak membunuhnya,” kata Maria, di antara isakan. “Aku melihatnya ... ia hanya ... melenyapkannya ... oh, Laniakea ... demi semua kebaikan yang pernah Engkau limpahkan di semesta ini ... kumohon, lindungi Ratu kami di mana pun beliau berada, dan hukumlah kebodohanku ....”
Kraya tidak langsung membalas dengan ucapan lain karena saat itu tangis Maria pecah, dan Toska, masih terjebak di ambang kesadarannya—terbaring seperti patung porselen rusak di atas ranjang asing—tak bisa merasakan apa pun selain kehangatan yang turun membasahi pipinya sendiri.
***
Sementara Toska terbaring di ranjang, di kamar utama Mirabilis, dan Maria masih menangis sambil berdoa di taman kastil, Kraya berjalan keluar. Menggunakan alas kaki kayunya yang memiliki variasi lingkaran, ia melintasi danau seperti laba-laba air.
Tiga orang aneh sudah menunggunya di daratan. Satu laki-laki dan dua perempuan. Mereka adalah bagian dari rencana Kraya untuk—tadinya, sebelum Errard tiba-tiba muncul pagi ini—melewati kepungan pasukan gabungan.
Laki-lakinya bernama Bahar. Raksasa berkulit hitam setinggi empat puluh meter. Gumpalan otot berambut gimbal berwarna biru keabu-abuan. Tidak mengenakan apa-apa di tubuhnya selain rok rumbai. Ia sedang duduk bersila, bertopang dagu, saat Kraya tiba. Ekspresi pada mata kecilnya yang gelap tampak sesadis dan sedingin hiu.
“BERANTAKAN SEMUANYA, RAJUNGAN!” Raksasa hitam itu tiba-tiba berteriak. Semua orang menutup telinga di saat yang tepat.
Kecuali, perempuan bernama Kamelia. Wanita yang ... merah. Dari ujung kepala sampai telapak kaki, ia berwarna merah. Termasuk gigi dan bagian putih pada mata juga. Rambutnya pendek nyaris bundar, sejajar dengan dagu, simetris membingkai wajah mungilnya. Mengenakan gaun pesta yang kelihatan ramai, sarung tangan elegan, dan selalu membawa payung pengantin penuh hiasan.
Kamelia sedang bersimpuh dramatis di tepi danau, menangis, menatap jauh pada kedalaman yang gagal dicapai matahari, saat Bahar berteriak tadi. Keterkejutan yang membuat wanita merah itu melompat lalu tercebur.
Perempuan satunya lagi bernama Vanta. Gadis berambut hitam, kribo. Ia mengenakan masker gas sewajah dan jubah cokelat besar yang sama persis seperti Kraya.
Mengabaikan jerit permintaan tolong yang kelewat berlebihan dari Kamelia (“Aku tenggelam! Otakku kram!”), Vanta berjalan ke arah Kraya, luwes mengulurkan sebelah tangannya ke depan, dan tepat ketika ayunannya sudah selurus dengan dada laki-laki berkulit gelap itu, mengaktifkan mekanisme di balik lengan jubah, menarik—mengirim keluar—pistol.
“Kecuali kau menyimpan sesuatu untuk menyumbat jantungmu,” kata Vanta, membidik, “jelaskan sekarang sebelum terlambat. Kenapa kau mengkhianati Garuda Hitam?”
Kraya tersenyum jenaka. Mengangkat kedua tangan ke udara. “Kau menang, Bos. Aku tidak punya apa pun untuk menyumbat jantungku. Jadi, aku akan mulai menjelaskan. Pertama, ledakan. Kamelia? Perhatikan gelembungnya.”
“Hah? Ngomong apa, sih?!” Kamelia memukuli air seperti anak kecil. “Kalian bantu aku mendingan! Aku tenggelam!”
“Tidak, Kam, kau tidak tenggelam. Kenapa? Kami masih bisa mendengarmu. Itu artinya kau belum berada di bawah air. Untuk tenggelam, kau harus berada di bawah air. Sekarang cobalah. Lakukan yang benar. Adegan tenggelam dan tak bisa diselamatkan.” Bahar mendesah panjang. Mengirim badai kecil beraroma mulut raksasa ke arah Kamelia.
“Huek! Baba!” Kamelia melindungi dirinya dengan payung yang dibuka ke depan. “Kapan kau terakhir kali sikat gigi? Dan cepatlah selamatkan aku yang nyaris tenggelam ini! Aku masih harus menangisi kepergian cinta matiku—”
BUM!
Ledakan di bawah air. Lalu, seseorang muncul ke permukaan. Megap-megap menghirup udara sebentar, lanjut berenang menghampiri Kamelia, merangkulnya—membawanya kembali ke daratan.
Seseorang itu adalah pria bernama Halimun. Seperti Kamelia, Halimun merupakan sosok dengan satu warna saja—hijau. Penampilannya pun sama ajaib. Rambutnya bisa tetap tersisir rapi ke belakang bahkan setelah berenang (menyelam lama juga!). Wajah mulusnya yang tak pernah goyah, datar tanpa ekspresi. Ia mengenakan baju santai, celana pendek, sandal jepit, dan ornamen sayap kecil di punggung.
“C-c-c-ci-n-n-n-ta? CINTA?!” Kamelia memegangi wajah si pria hijau di dekatnya, Halimun, seakan ia tak nyata dan bisa bergetar menghilang kapan saja seperti fatamorgana. “KAU MASIH—KAU, OH! CIUM AKU—SEKALIPUN KAU HANYA ARWAH DANAU DAN BUKANNYA SUAMIKU!”
Tanpa mengatakan apa-apa atau menunjukkan perubahan pada raut wajahnya, Halimun menempelkan dahinya pada dahi Kamelia, kemudian bibirnya pada bibir wanita itu—istrinya. Mereka berpelukan, berputar, terjatuh, berguling, dan terus berciuman.
Sambil kembali tersenyum jenaka, Kraya menunggu reaksi dari Vanta yang masih menodong jantungnya. Gadis kribo itu bergeming. “Halimun selamat,” ia bilang. “Aku harus bilang itu sangat bagus.”
“Bayangkan ... harus menemani Kamelia yang menjanda.” Bahar menerawang, mengernyit, tampak tersiksa. “Ratapannya ... dikali jutaan dramatisasi ... setiap saat ....”
“Ya, Bahar. Itu salah satu alasan utama mengapa kubilang sangat bagus Halimun ternyata selamat.” Vanta mengangguk tegas. Sepasang mata tajam di balik kacamata gelap masker gasnya masih memerhatikan Kraya. “Tapi, sejujurnya, bukan itu penjelasan yang ingin kudengar dari pengkhianat ini.”