Eskapisme

Geofanny Oktaviani
Chapter #6

Bangkit

Perjalanan kembali dari Hiraeth ke Mirabilis berlangsung aman. Ratusan makhluk kecil bertopi kerucut, berseragam putih berlambangkan bintang emas di bagian dada, menyambut rombongan di gerbang utama kastil yang sedang diperbaiki. Mereka semua—para Novas itu—kelihatan murung.

“Kami semua melihatnya dari atas sana, sampai pasukan musuh juga. Bagaimana tidak? Perang Matahari berhenti total dan kurasa hal itu baru sekali terjadi sejak, entahlah, eon lamanya.”

“Pertarungan yang sangat hebat di antara para penguasa. Terlalu menentukan.”

“Raja Errard unggul dari segi pengalaman, tentu saja.”

“Tapi kita seharusnya menang! Seandainya Raja dan Ratu-ku menggunakan Portal mereka ....”

“Sudahlah. Raja-ku terluka parah ... tapi kami pasti bisa memperbaikinya—atau terkutuklah seluruh bangsa Novas, berubah saja menjadi semakin kerdil dan redup lagi!”

“Keadaan Ratu-ku jauh lebih mengkhawatirkan ... memikirkannya membuatku ingin bunuh diri secepatnya ... karena aku tidak bisa melakukan apa-apa! Dasar buntalan gas yang tidak berguna!”

“Tak terlihat ... Ratu-ku menghilang ke tempat yang tak lagi bisa diraih oleh siapa-siapa. Oh, seandainya aku bukan siapa-siapa!”

Di sepanjang jalan menuju kamar utama, sambil mengiringi rombongan, tak ada satu pun dari makhluk kecil itu yang bisa berhenti membuka mulut. Semua sibuk menyampaikan pemikiran masing-masing tentang peristiwa kekalahan raja dan ratu mereka.

“Berapa lama waktu yang kalian butuhkan untuk memulihkan sang Raja?” tanya Maria begitu Toska selesai dibaringkan di ranjang oleh Kraya.

Puluhan makhluk kecil mencoba menjawab sekaligus. Kamar utama riuh rendah seperti kelas.

“Gila. Mereka semua terlalu antusias dalam segala hal,” kata Halimun, datar, “benar-benar menjijikkan. Ayo adopsi beberapa.”

Kamelia yang sedang memeluknya dari samping, cekikikan. “Setelah menjadi anak-anak kita, nanti aku mau memaksa mereka untuk memakan masakanku! Yay!”

Bahar, dalam wujud anak kecilnya, merinding. “Kalian berdua benar-benar tidak boleh punya keturunan.”

“Kau. Jawab aku—SISANYA DIAM!” Vanta membentak. Kamar utama langsung hening. “Kau. Ya. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan sang Raja?”

“Takkan lama. Kami pasti sudah selesai sebelum pagi.”

“Bagus.” Vanta mengangguk. “Kalian boleh mulai dari sekarang.”

Rombongan dan sembilan puluh persen makhluk kecil yang tak berkepentingan segera berjalan keluar kamar utama. Menyisakan hanya segelintir penyembuh terbaik bangsa Novas di sana—langsung berfokus mendedikasikan diri mereka untuk menyembuhkan Toska (sementara sekelompok penyembuh sisanya bekerja untuk menyembuhkan Bloop di ruangan yang berbeda).

Tepat sebelum matahari terbit, Toska dan Bloop sudah berhasil dipulihkan secara total.

***

Pagi itu sangat cerah. Baris-baris cahaya menyorot agung melalui setiap jendela di ruang makan. Toska, Maria, dan kelompok Garuda Hitam menyantap sarapan dalam ketenangan yang tak nyaman. Vanta terus-menerus berpandangan dengan Kraya, mengisyaratkan satu sama lain untuk membuka topik pembicaraan. Sementara Halimun berusaha melindungi piring-piring jatah makanan Kamelia, karena Bahar mencoba mencurinya.

“Maaf, aku telah membiarkan Errard mengalahkanku,” kata Toska tiba-tiba, mematahkan kebisuan ke bentuk baru, karena tak ada yang langsung bisa membalas ucapan itu. “Aku berjanji ... akan memberikan hasil yang berbeda, ketika datang kesempatan lain di masa depan.”

“Yang Mulia, semua yang telah terjadi merupakan kesalahan saya.” Maria menunduk, memerhatikan kepalan tangannya gemetar di atas lutut. Kedua mata hijau terangnya berkaca-kaca. “Seandainya saya tidak lupa memberitahukan tentang Portal ... saya—”

“Hanya panik, Maria sayangku,” Kraya memotong, tersenyum jenaka, lembut meletakkan tangannya di atas kepalan tangan kekasihnya, “dan itu reaksi yang sama sekali wajar, mengingat situasi kita kemarin. Semua sudah terjadi, oke? Tak perlu lagi—”

“Membelanya, Kraya,” potong Vanta, tegas. “Semua kesalahan harus menerima garis bawah. Kita sedang menjalankan misi sungguhan di sini. Biarkan Maria melakukan apa yang seharusnya ia lakukan.”

“Maafkan aku,” kata Maria, menunduk semakin dalam. “Semuanya ... Yang Mulia ....”

“Aku memaafkanmu,” kata Toska, tersenyum sedih. “Dan namaku Toska, omong-omong. Bukan Yang Mulia. Aku ... bukan raja kalian. Benar sekali. Sudah saatnya menyudahi omong kosong ini.”

“Omong kosong?” tanya Bahar dari balik tumpukan piring kotornya. “Tadi dia bilang omong kosong, ya?”

“Dia juga bilang sesuatu tentang ... bukan raja kita,” kata Halimun, datar. “Apakah makanan dan minuman di sini beracun? Bisa membuat kita berhalusinasi? Kenapa aku baru sekali ke sini?”

Toska mendesah. “Maksudku—”

“Tentu saja kau bukan raja kami,” Kamelia memotong, bertopang dagu di atas meja. “Atau lebih tepatnya ... belum sepenuhnya menjadi raja kami. Kau adalah raja ketika kau bisa membuktikannya nanti, di luar sana. Sekarang ini kau hanya sekadar pemuda ganteng yang tiba-tiba terbangun di dalam kastil, dilayani peri bintang sepanjang malam, bisa menggunakan sihir matahari, dan harus bekerja sama dengan kami—para bandit seksi.”

“Bisakah kita menciptakan diskusi serius?” kata Halimun sambil memainkan, menaikkan, ujung kaki bagian belakang kursinya. “Hm?”

“Hey, cinta!” protes Kamelia. “Bagian mananya dari ucapanku tadi yang terdengar kurang serius, coba?”

“Kaubilang ganteng pada sang Raja,” Halimun menjelaskan, sedatar dinding. “Kau seharusnya mengatakan sesuatu yang lebih penting.”

“Puting?” kata Bahar.

“Penting,” kata Halimun.

Bahar angkat bahu. “Ya, aku tahu.”

“Oh! Aku punya puting, kalau itu memang penting!” Kamelia membusungkan dadanya ke sekeliling meja makan, tersenyum lebar.

Toska memaksakan tawa. Maria memejamkan mata. Kraya bertepuk tangan. Vanta menggeleng tak peduli.

Halimun memerhatikannya tanpa ekspresi. “Istriku, saudara-saudari sekalian. Diskusi serius adalah keahlian tersembunyi—”

“OH, BABA! JAUHI ROTI-ROTI ITU!” Kamelia menyambar piring jatah makanannya yang nyaris dicuri diam-diam. Lagi.

“Kau masih memakannya, Kam? Maaf. Punyaku sudah habis,” Bahar menggerutu. Bocah pendek itu mendesah sebelum melanjutkan, “Yah, semua orang di meja ini berusaha untuk terus-menerus membuka mulut. Aku hanya ingin melakukan hal yang sama, tapi lebih bijak.”

Halimun dan Kamelia berpandangan, mengangguk, lalu membagi sisa roti mereka dengan Bahar.

“Apa maksudmu, Yang Mulia?” Kraya berbisik, mencondongkan tubuhnya ke arah Toska. “Apa yang kaupikirkan saat mengatakan kau bukan raja kami?”

Lihat selengkapnya