Eskapisme

Geofanny Oktaviani
Chapter #7

Pelajaran

Setelah tercebur ke danau bersama Kraya, ditolong kemudian oleh Bloop, dan diantar Maria ke kamar untuk mengganti busana raja agungnya yang basah, Toska memasuki aula utama. Duduk di singgasana tinggi Mirabilis.

“Vanta. Kamelia. Halimun. Bahar,” kata Toska, menunjuk satu-satu anggota Garuda Hitam. “Baiklah. Cukup mudah diingat. Salam kenal, semuanya.”

“Salam kenal. Oh, ya, kalau mau lebih gampang, kau boleh, kok, memanggilku ‘sayang’.” Kamelia berkedip genit, menebar serbuk merah dari sekitar matanya.

“Lewati dulu mayat Bahar,” kata Halimun, datar, untuk Toska.

Bahar, dalam wujud anak kecilnya, bersedekap. “Ya, tentu saja. Meskipun aku sendiri tidak tahu kenapa itu harus menjadi mayatku.”

“Bodoh. Sudah jelas karena aku suaminya.” Halimun ikut bersedekap. “Kalau aku yang jadi mayat, Kamelia nanti sama siapa?”

“Sangat bijaksana.” Bahar mengangguk. “Baiklah, dimengerti.”

“Cinta!” protes Kamelia, mengguncang bahu hijau Halimun. “Jadi menurutmu aku gendutan, ya?”

Halimun dan Bahar berpandangan.

Toska bingung memerhatikan mereka, dan Vanta, merasa melihat kesempatan, bergerak cepat ke samping singgasana tinggi, lalu merangkul—memiting—leher pemuda itu kuat-kuat. “Nah. Kau tidak mengerti apa yang sedang mereka katakan, lakukan. Benar? Kau juga semakin kesulitan untuk mencoba memahaminya, karena harus berpikir sambil kutahan seperti ini?”

“Ya!” erang Toska, meronta sia-sia.

“Dalam tekanan, mencoba memahami hal-hal bodoh,” Vanta berbisik dingin. “Itulah yang harus kaulakukan mulai sekarang, Toska, sebagai raja.”

Kraya muncul menepuk pundak si gadis kribo. “Perbandingan menarik, Vanta. Sekarang tolong lepaskan Yang Mulia. Sepertinya ... kita kedatangan tamu. Benar, sayangku?”

“Ya. Aku pernah melihatnya di Hiraeth,” kata Maria yang sedang berdiri di ujung ruangan, tepat di depan jendela seluas dinding. Dari situ tampak seseorang sedang berdiri di daratan seberang danau, panik melambaikan kedua tangan sambil meneriakkan sesuatu. “Dia pasti tidak memiliki niat buruk, karena Bloop tidak bereaksi sama sekali. Aku akan menyambutnya.”

Tak lama kemudian, Maria kembali bersama seseorang itu. Wanita paruh baya berwajah melankolis, penduduk Hiraeth. Ia tampak sangat kelelahan, cemas, dan tidak percaya.

“Aku berada di Mirabilis ... aku—” Wanita itu berhenti menggumam saat pandangannya menemukan singgasana tinggi, berikut Toska. Sekilas ia tampak sediam dua belas patung pilar di aula utama ini. Kemudian tangisnya pecah. “Raja-ku!” Ia jatuh bersujud.

Tidak tahu harus melakukan apa, Toska turun dari singgasana tinggi, bergegas menghampiri, bersimpuh di sampingnya. “Ya,” pemuda itu bilang, “aku di sini.”

Wanita itu nyaris pingsan karena bisa begitu dekat dengan sang raja matahari—figur pujaannya. Ia tak mampu mengatakan apa-apa selama beberapa saat, dan ketika akhirnya bisa, hanya doa beserta ayat-ayat Ramalan Selena yang terdengar.

Toska menunggu dengan sabar.

“Lihat dia, teman-teman,” kata Bahar, menunjuk Toska. “Tersenyum saja seperti orang bodoh.”

“Dia raja kita,” kata Halimun, datar. “Tapi aku setuju. Sangat bodoh.”

“Seharusnya katakan sesuatu!” Kamelia menambahkan gemas.

“Tapi apa yang bisa dikatakan, ya? Kuperhatikan, wanita itu sepertinya hanya berdoa saja dari tadi?” Bahar mengusap dagunya.

“Amin?” usul Halimun.

Kamelia memekik tertahan, mencuri cium ke pipi si pria hijau. “Nah, itu! Amin! Suamiku jenius sekali!”

“Jangan terlalu heboh.” Halimun menggeleng tanpa ekspresi. “Aku tidak mau dianggap sombong.”

Toska memerhatikan mereka dengan pandangan malas.

“Namaku Theresa, Yang Mulia,” kata wanita itu akhirnya. “Aku ke sini membawakan kabar buruk dari Hiraeth.”

“Oh.” Toska mengernyit. “Apa yang terjadi di sana, Theresa?”

“Kedua anakku, Naku dan Ewa, mereka sudah pergi meninggalkan desa tiga tahun silam untuk bergabung dengan Perlawanan,” Theresa menjelaskan. Ia memejamkan mata, tampak frustrasi, sebelum melanjutkan, “Semalam mereka pulang sebagai raksasa. Kami ... sempat bertukar kabar—saling memberitahukan betapa kami merindukan satu sama lain. Lalu kabut turun begitu tebal dan tiba-tiba, membutakan seisi desa! Yang Mulia, saat semua kembali terlihat ... kedua anakku sudah tidak bisa ditemukan di mana-mana. Demikian juga dengan cakram milik Sepuh.”

Kraya ikut bersimpuh di samping Theresa. “Cakram milik Sepuh? Itu artinya ....”

Theresa mengangguk lesu. “Aku benar-benar malu ... karena aku tahu, sejelas yang lainnya, bahwa kedua anakku yang mencuri cakram itu. Yang Mulia, tolong kami ....”

“Tentu saja, Theresa! Apa yang harus kulakukan?”

“Anda harus menemukan Naku dan Ewa, Yang Mulia, kemudian membawa pulang cakram Sepuh ke Hiraeth secepatnya,” kata Kraya.

Toska mengangguk. “Benarkah begitu? Baiklah, ayo.”

Kraya menarik keluar jam saku dari balik jubah besarnya, lalu menggeleng. “Tidak bisa, Yang Mulia. Ada sesuatu yang harus aku, Halimun, dan Kamelia lakukan di tempat lain sebentar lagi.”

“Apa?” kata Toska.

“Apa?!” kata Halimun dan Kamelia bersamaan, lalu Halimun melanjutkan sendirian, datar, “Kenapa aku harus tetap ikut?”

“Karena otakku kram dan kau harus menggantikanku.” Bahar tersenyum mengejek. “Maaf, ya?”

Lihat selengkapnya