Di dalam pesawat supercepat menuju Suvarna.
“Kau kelihatan capek,” kata Vanta, memerhatikan Toska.
“Oh, ya?” Toska mengangkat kedua alisnya. “Aku baik-baik saja—uhuk!” Pemuda itu terbatuk keras, tak terputus. Lalu ia mulai mimisan.
Vanta memberinya sapu tangan, sekaligus ekspresi aku-bilang-juga-apa.
“Raja-ku!” Orion mendekat, memegangi kaki sang raja, menangis dan tampak sangat cemas. “Jangan terlalu memforsir diri Anda. Ingat, aku bisa merasakannya ... jangan mati, ya, Raja-ku ....”
Toska, dengan hidung tersumbat kain, buru-buru menggeleng menenangkan, sementara Vanta tergelak.
“Yang Mulia sudah terlalu banyak menggunakan kemampuan Doa dan Portal dalam waktu singkat,” kata Maria, mengulurkan kedua tangan, telapak mengarah ke arah Toska. “Keduanya merupakan sihir matahari—kekuatan tanpa batas di semesta ini. Tapi ... tubuh Anda sendiri belum terbiasa dan ia memiliki batas. Saya akan mencoba mengembalikan tekanan darah Anda ke normal.”
“Nah,” kata Vanta, mendekatkan wajahnya ke wajah Toska, “seharusnya sekarang kau bisa mengerti, bahwa waktumu untuk bermain pahlawan sudah habis. Berkonsentrasilah hanya terhadap misi utama kita—menangkap Naku dan Ewa, lalu membawa pulang cakram Sepuh ke Hiraeth.”
“Aku bukannya bermain pahlawan,” kata Toska. Suara yang keluar terdengar aneh karena hidungnya masih tersumbat. “Lagi pula, kau sendiri bilang bahwa nilai kehadiranku akan ditentukan oleh reaksi mereka—masyarakat.”
Vanta tersenyum mengejek. “Jadi, kau hanya melakukan semua itu untuk membangun citra? Fatamorgana?”
Toska, lagi, menggeleng buru-buru. “Tidak, aku memang ingin membantu.”
“Baiklah.” Vanta menarik diri. Kembali duduk bersandar di kursinya. “Kalau begitu, kali ini, bantu dirimu sendiri. Simpan kekuatanmu, karena firasatku mengatakan ... Suvarna takkan menjadi kesalahan terakhir. Dan, tolong, jangan seenaknya menginterpretasikan ucapanku. Tindakanmu, berikut reaksi masyarakat, memang penting untuk diketahui demi rencana jangka panjang kita. Tapi itu bukan berarti kau bisa seenaknya bergerak tanpa perencanaan lebih dulu. Ingat baik-baik. Informasi adalah kekuatan terbesar di Arthera.”
“Tunggu. Maksudmu, aku harus membiarkan ... masalah terjadi begitu saja?” Toska melepas penyumbat hidungnya. “Di depan mataku? Sementara aku memiliki kekuatan untuk membantu mereka?”
“Oh, ayolah, setiap harinya dunia ini mencetak lebih banyak masalah daripada pepohonan memproduksi oksigen. Sebentuk kebaikanmu di sini mendapatkan terima kasih, nyanyian, pernyataan keajaiban. Oke. Tapi apa yang bisa kaulakukan terhadap bencana tak terlihat di sudut lain Arthera? Membuat alasan? Tentu tidak! Kau raja matahari! Terutama, kau bukan Errard! Dalam sudut pandang mereka, kau mahakuasa sekaligus maha pengasih! Mahakuasa tidak boleh gagal, karena itu hanya akan melahirkan paradoks, sementara maha pengasih tidak boleh memilih. Mengerti? Tanpa perencanaan lebih dulu, seseorang dengan kekuatan sebanyak dirimu, takkan pernah bisa menjadi normal. Berada di puncak, atau di dasar—itu saja posisinya.”
Toska tenang memerhatikan Vanta. “Atau, aku bisa berbuat baik, terus-menerus, sampai semua orang akhirnya menjadikan perbuatan itu sebagai teladan, prinsip hidup mereka.”
“Tentu, jika dongeng ini ditulis oleh ibumu.” Vanta mendengus, memutar bola mata. “Kita semua masih memerankan penantang dan juara bertahan takkan menyerahkan sabuknya tanpa perlawanan. Keberhasilanmu hanya akan diketahui oleh mereka yang benar-benar ingin tahu. Sementara kegagalanmu akan dikumandangkan menggunakan amplifikasi terbaik. Berhati-hatilah. Menjadi pahlawan sesungguhnya, kau tidak boleh bertingkah sebagai sekadar selebriti. Tunjukkan kualitasmu ketika ia memang sudah siap untuk menghadapi dunia ini.”
Sayangnya, begitu tiba di Suvarna—wilayah terdekat dari sumber energi yang dicari, baik Toska atau Vanta tidak memiliki pilihan lain, selain kembali menceburkan diri mereka ke dalam masalah di luar misi utama.
Kali ini, masalah itu muncul menggunakan wujud Bencana. Banjir bandang menyapu seisi kota. Hujan deras disertai badai petir, mengamuk membungkam bermacam kerusakan yang ia sebabkan. Jebolnya dinding-dinding bangunan, pohon-pohon besar tercerabut, jembatan ambruk. Semua hanyut ke dalam arus kencang berisi debris, kendaraan, hingga jasad dingin. Termasuk, seruan dan ratapan penduduk di sana.
Toska, menggunakan Doa, menciptakan atap cahaya sebagai payung. Menciptakannya dengan sangat luas agar belokan curah hujan tidak tumpah ke wilayah yang salah—meskipun ia tetap takkan bisa memastikan itu, karena sinar matahari masih terhalang awan kumulonimbus raksasa, sehingga penglihatannya ikut terganggu.
Selesai memayungi kota, Toska memanggil ratusan Novas sekaligus untuk membantu para penduduk yang menjerit kesusahan di mana-mana. Pada atap rumah mereka, lantai atas gedung pencakar langit, sampai terjebak dalam kendaraan, atau tempat-tempat sempit lain.
“Jangan paksakan keberuntunganmu!” Vanta—sambil membantu seorang bocah dan anjing peliharaannya pindah ke tempat tinggi—berteriak untuk Toska di langit.
Maria juga. Sambil menuntun sepasang lansia ke tempat yang sama, serta diam-diam memulihkan luka ringan mereka, berteriak untuk Toska, “Yang Mulia! Berhenti! Anda harus berhenti! Beristirahatlah!”
Suara-suara yang tentu saja hilang tidak terdengar, tenggelam ke dalam hiruk-pikuk katastrofe.
Dan itu—peringatan Vanta, Maria, seandainya tersampaikan sekalipun, takkan bisa menghentikan Toska. Menggunakan kemampuan Doa dalam kapasitas maksimum, melebihi batas yang bisa ditahan oleh tubuhnya sendiri, ia menciptakan lubang hitam.
Lubang hitam yang diciptakan khusus untuk mengisap debris dan segala hal di dalam arus banjir.
Tak berhenti di situ, Toska menciptakan dua lubang putih—sebagai pintu keluar bagi semua benda yang diisap lubang hitam—tepat di balik payung kota. Ia juga memanggil puluhan Novas tambahan.
Hasilnya, semua benda mati keluar dari satu lubang putih, dibiarkan menumpuk terpisah, sesuai kategori. Sementara lubang putih satunya mengeluarkan sesuatu yang masih bertahan hidup, dan mereka segera mendapat penanganan darurat dari puluhan Novas tambahan tersebut.
“Dia sudah gila,” Vanta menggeram, memerhatikan Toska terhuyung di langit.
“Demi Laniakea ... ini bisa menjadi sangat buruk.” Maria menunduk, memejamkan mata, sangat cemas. “Jika Yang Mulia terus memaksa untuk mengeluarkan kemampuan Doa dan Portal ... tubuhnya bisa hancur dari dalam ....”
Dua Novas yang baru mengantarkan satu keluarga mengungsi ke tempat tinggi, tergesa-gesa menghampiri Vanta dan Maria.
“Namaku Tabby!” kata si Novas laki-laki.
“Aku Heze!” kata si Novas perempuan.
Lalu mereka berseru panik bersamaan, bersahut-sahutan, dengan wajah berantakan, penuh oleh air mata, “Kalian para Sahabat harus menyelamatkan Raja-ku! Beliau sudah mencapai batas! Permintaan terakhirnya adalah seratus Novas tambahan ... tapi hanya tiga puluh yang bisa dipanggil, karena ... karena—”
“Lebih dari itu ... permintaannya akan dianggap sebagai tindakan mencelakakan diri sendiri secara langsung,” Vanta memotong. “Sialan!”
Maria sudah mulai menangis putus asa, saat Vanta nekat berlari meninggalkan tempat tinggi. Melompat dari atap ke atap, menerjang arus banjir, hingga akhirnya gadis kribo itu berhasil berdiri tepat di bawah Toska. Ia mendongak dan berteriak murka, “HENTIKAN SEMUA KEGILAAN INI, MAKHLUK CENGENG!”
Toska melirik ke bawah kepada Vanta, tersenyum letih, kemudian kedua matanya berputar, dan pemuda itu pun jatuh dari langit.
***
Jika sesuatu terjadi pada diriku, Orion, lakukan pelacakan ulang seperti biasa—sumber energi Sepuh, beserta keberadaan Naku dan Ewa.
Jika hasil akhirnya tidak ada, bahwa mereka kembali gagal untuk ditemukan, tolong pastikan agar kelompok kita tetap melanjutkan perjalanan berdasarkan informasi apa pun yang bisa ditemukan di pulau ini.
Dua perintah tersebut, diberikan kepada Orion melalui percakapan dalam hati sebelum Toska kehilangan kesadaran, adalah hal pertama yang diingat pemuda itu ketika akhirnya kembali membuka mata.
Pada saat ini, ia, bersama kelompoknya, berada di pesawat supercepat meninggalkan Suvarna. Menuju Apvara—pulau paling timur di kepulauan Vanantara.
Toska, masih tampak pucat dan sangat kelelahan, tersenyum meminta maaf. “Bagian dalam tubuhku rasanya seperti ditarik ke segala arah.” Ia tertawa pelan. “Baiklah ... apa saja yang terjadi setelah aku pingsan? Aku—”
PLAK!
Vanta menampar pemuda itu.