Eskapisme

Geofanny Oktaviani
Chapter #11

Kebenaran

“Kita harus percaya,” kata si bapak bertubuh tambun, menunjuk Toska. “Padanya.”

“Dia itu Raja Matahari yang baru!” si pemuda pendek menimpali. “Kalian lihat beritanya, kan? Di Lebev dan Pontiv? Dia bisa bikin matahari kecil, terbang menggunakan sayap cahaya, berpindah tempat, menghilang, dan—”

“Kami sudah tahu!” beberapa dari penduduk itu menyahut.

“Lalu tunggu apa lagi?” Vanta, gemas, mengangkat kedua tangannya ke udara. “Ayo evakuasi!”

“Kalian ingin kisah kepahlawanan lainnya?” kata Maria, mencoba membujuk. “Ketahuilah, sebelum ke sini, Yang Mulia menyelamatkan seisi kota di Suvarna dari Bencana banjir bandang.”

“Ya, ya, ya.” Vanta mengangguk tak sabaran. “Itu juga pasti sudah ada di berita, seandainya kalian masih memiliki akses internet atau aliran listrik.”

“Oh, benar! Kalian akan masuk berita saat semua ini selesai nanti,” Maria menambahkan, masih mencoba membujuk.

Vanta mendesah. “Mereka akan tetap masuk berita, Maria, tidak peduli apa pun yang terjadi.”

“Lebih menyenangkan jika masuk berita bersama-sama!” Maria terus berusaha.

Toska menghentikan kedua perempuan itu. “Cukup,” ia bilang, kemudian kembali memerhatikan para penduduk. “Ketahuilah ... pesawat imajinerku hanya menggunakan barisan kursi pijat dan takkan pernah mengalami turbulensi. Kenyamanan paling utama. Ayo berangkat.”

Vanta memutar bola mata di balik masker gasnya. “Serius?”

“Sejujurnya? Aku tidak tahu lagi harus melakukan apa agar mereka mau dievakuasi secepatnya,” bisik Toska, tanpa mengalihkan pandangan.

“Kita selalu bisa memaksa mereka,” Vanta mengusulkan.

DUAR!

Ledakan demi ledakan lain terdengar. Semakin dekat setiap saatnya. Juga kontak senjata dan suara kendaraan tempur.

Perlawanan bermarkas di timur—wilayah perindustrian, sudah kosong ditinggal penduduk—sedangkan lokasi gedung rumah sakit setengah hangus ini berada di selatan, jauh dari jalan-jalan utama yang bisa dilalui tentara pemerintah untuk menyerang.

Fakta bahwa mereka juga membombardir hingga ke sini, menunjukkan strategi untuk menyapu bersih. Dengan dasar pemikiran, tidak ada lagi yang tinggal di kota ini—di luar wilayah evakuasi—selain anggota Perlawanan, atau musuh.

“Dengarkan aku! Aku berjanji akan memastikan keselamatan kalian!” kata Toska. “Bergeraklah sekarang, agar kita bisa menjemput lebih banyak orang di semua tempat persembunyian sementara mereka!”

Para penduduk berpandangan. Kedua mata membelalak ngeri atau terpejam erat dalam doa. Tetap tidak ada yang bergerak.

Toska mengepalkan kedua tinjunya. “Baiklah. Kita akan memaksa mereka. Ayo—”

“Tunggu,” Vanta memotong. “Lihat.”

Seorang gadis kecil, bergandengan dengan adik laki-lakinya, maju meninggalkan gedung rumah sakit setengah hangus itu. Mendekati Toska.

“Pamanku enggak mau bergerak lagi di dalam,” ia bilang, pelan dan polos. “Badannya dingin. Tapi aku sama adikku masih punya bibi di rumah. Bisa tolong antar kami ke sana?”

Toska buru-buru mengangguk, tersenyum menenangkan. “Maria? Tolong?”

Maria segera menghampiri kedua anak itu dan menuntun mereka memasuki pesawat evakuasi ciptaan Toska.

“Kumohon,” kata Toska pada penduduk sisanya. “Waktu sangat berharga.”

Para penduduk kembali berpandangan, mengangguk kecil, dan akhirnya, ikut bergerak mendekati Toska, meninggalkan gedung rumah sakit setengah hangus. Bertepatan dengan itu, dari kejauhan, beberapa peluru meriam tank ditembakkan, lantas menghantam—meledakkan—permukaan tanah di depan mereka.

Toska menciptakan dinding cahaya tepat pada waktunya.

Sejak tiba di zona perang, pemuda itu telah mengubah tubuhnya, menggunakan Doa, menjadi ratusan kali lebih peka terhadap bahaya.

Semua selamat.

Keterkejutan para penduduk berangsur pulih menjadi perasaan aman, kepercayaan, saat mereka lanjut berbaris memasuki pesawat evakuasi Toska.

Berangkat menyelamatkan sisa penduduk yang terjebak di zona perang ini.

***

Setengah jam kemudian, ada tujuh puluh pesawat imajiner (masing-masing menampung sekitar lima ratus penumpang) mendarat bergantian di lokasi kamp evakuasi milik pemerintah. Hampir seluruh Blasteran dari total seperdelapan populasi kota ini, berhasil diyakinkan Toska untuk ikut memercayai rencana penyelamatannya.

Semua diizinkan masuk setelah sekelompok petugas selesai mengidentifikasi kependudukan mereka di bagian pendataan.

Toska langsung mengerti. Setelah melihat sendiri, ia mulai bisa benar-benar merasakan kenapa para Blasteran begitu enggan mencari suaka di sini. Kamp evakuasi lebih terlihat seperti kamp konsentrasi untuk mereka.

Terdapat pembagian jelas. Diskriminasi dari segi kelayakan hunian sementara, hingga penempatan, juga luas wilayah. Kamp pribumi di barat, sekaligus merupakan lokasi gudang penyimpanan ransum beserta kebutuhan logistik lain, memiliki fasilitas memadai (jumlah yang cukup dari toilet portabel dan dapur umum). Kamp Blasteran di timur, diposisikan terlalu dekat dengan garis batas zona perang, sehingga sebagian lahan kosong mereka ditanami ranjau. Penjagaan petugas bersenjata juga lebih ketat.

Kamp evakuasi dibangun secara mendadak di atas lahan pinjaman. Kompleks lapangan golf milik pengusaha, orang kaya nomer satu, Vanantara. Ia mampu menampung total populasi kota ini. Masalahnya, meskipun rasio penduduk adalah sepuluh banding dua untuk pribumi sebagai mayoritas, dan mereka pantas mendapatkan sebagian besar wilayah hunian sementara, kamp untuk Blasteran terlampau sempit.

Kedua wilayah terpisah oleh pagar kawat harmonika, dan hal tersebut, ditambah penjagaan petugas bersenjata yang jauh lebih ketat di kamp timur, sama sekali tidak memberikan suatu kesan keamanan bagi para Blasteran, justru malah sebaliknya.

Para petugas yang berjaga adalah pribumi. Kentara sekali mereka sudah bekerja sama dengan penduduk biasa—seolah memiliki organisasi masyarakat tersendiri.

Ketika berpamitan dengan penanggung jawab kamp evakuasi ini, sekaligus menolak tawaran menunggu kedatangan pejabat untuk mendiskusikan banyak hal lebih jauh, Toska, ditemani Vanta, mencuri dengar perbincangan salah satu petugas jaga dan seorang penduduk biasa. Mereka menggunakan istilah golf dalam bahasa Lama saat membahas semacam rencana penyerangan. Seperti ..., “Siapa yang mau tee off duluan?” Kemudian ..., “Kita harus mengumpulkan sand wedge terbaik kalau-kalau membutuhkan bunker shot nanti!”

Kabar buruk bagi para Blasteran.

Tanpa penjagaan berarti, terkepung oleh musuh di dalam perangkap ilusi keamanan, Toska dapat membayangkannya dengan jelas. Satu per satu Blasteran diambil secara paksa oleh sekelompok pribumi. Diinterogasi, lalu dihakimi.

Mengantisipasi itu—sambil tanpa memaksakan batas beban kemampuan Doa dan Portal yang bisa diterima oleh tubuhnya lagi—Toska mengerahkan tiga puluh pasukan Novas sebagai penjaga para Blasteran.

Mereka akan berjaga sampai ... Toska menyelesaikan tahap selanjutnya dari rencana penyelamatan ini.

Lihat selengkapnya