Vanta dan Maria berjalan tak tentu arah. Terbawa arus lautan manusia di depan gudang-gudang laut, hingga sekitar dermaga. Semua orang tampak disibukkan oleh kegiatan menyenangkan dari perayaan festival puncak musim panas. Kecuali kedua perempuan itu.
Stan-stan dengan dekorasi bertemakan kehidupan maritim. Luminaria yang memisahkan jalan-jalan kecil di antara mereka. Seandainya tidak sedang terburu-buru, mendadak terjebak di tempat ini pastilah sangat menyenangkan. Belum lagi konser besar pada panggung terapung—kemeriahan pesta kembang api tanpa henti.
“Peri bintang sialan itu!” Vanta uring-uringan.
“Dia akan menemukan kita,” kata Maria, menenangkan. “Dia dan Yang Mulia—yang telah berhasil menangkap Naku di Batvia!”
Sedikit pun Vanta tidak menjadi tenang.
Jadi, beberapa menit lalu, Orion pergi. Meninggalkan Vanta dan Maria di tengah keramaian, dalam kebingungan, setelah mereka gagal melacak presisi keberadaan Ewa.
Orion pergi karena Toska, dari Batvia, memanggilnya—membutuhkan bantuannya sebagai pemandu menuju tempat ini.
“Seandainya masih ada cahaya matahari, Yang Mulia pasti bisa muncul di hadapan kita pada detik ini juga,” Maria melanjutkan. Masih berusaha menenangkan. “Tapi jangan khawatir, Vanta, karena pesawat supercepat beliau pasti hanya membutuhkan sekitar ... sepuluh sampai lima belas menit? Untuk menempuh jarak Batvia-Duende—”
“Ya, ya, ya. Maafkan temperamenku. Mungkin aku hanya lapar.” Vanta membungkuk menyedihkan, dan berjalan terhuyung menuju salah satu stan makanan. Beberapa saat kemudian, ia dan Maria sudah duduk di garis pantai ujung dermaga. Menikmati churro yang renyah dengan saus cocol cokelat.
Panggung terapung jauh di sebelah kanan mereka membawakan musik-musik adagio. Tenang mengalun mengikuti debur ombak.
“Merasa lebih baik?” tanya Maria, tersenyum melalui mata hijau terangnya. Menyodorkan gelas plastik berisi teh lemon panas.
Vanta ikut tersenyum, mengangguk, menyeruput minuman itu. Kehangatan di dalam tubuhnya menjadikan angin pantai terasa lebih menyenangkan. “Terima kasih. Benar-benar hari yang panjang, ya?”
“Hari pertama,” kata Maria, masih tersenyum.
Vanta tertawa pelan. “Hari pertama,” ia mengulang. “Benar-benar merepotkan, bayi besar yang ditakdirkan untuk menjadi raja matahari itu ....”
“Oh, Vanta!” tegur Maria. Vanta tertawa semakin keras. “Demi Laniakea.”
“Bayi-bayi tumbuh besar, Maria, jangan khawatir.”
“Tapi kurasa tidak sopan menyebut Yang Mulia dengan cara seperti itu. Kumohon, Vanta, kita wajib menghormatinya.”
Vanta memerhatikan Maria. Selama saling mengenal, ia selalu mengagumi mata hijau terang milik kekasih teman masa kecilnya itu. “Benar.”
“Syukurlah, aku senang jika kau mengerti.” Maria menyusupkan sebatang churro melalui bagian bawah cadarnya yang dilonggarkan. Mengunyah perlahan. “Terkadang aku takut sendiri setiap kau bersikap terlalu ... bersahabat dengan Yang Mulia.”
“Wah, aku sedih mendengarnya.” Vanta mendengus. “Berarti aku harus lebih keras mendidik bayi super itu agar kau mengerti maksudku yang sebenarnya.”
“Vanta!”
Si kribo tertawa lagi.
Nyala kembang api di langit malam secara redup menerangi wajah yang mendongak dari kedua perempuan itu. “Kau dan Kraya memiliki banyak sekali kegelapan untuk dilalui di masa depan,” kata Vanta, pelan. “Menjadi tersesat pasti sangat mudah, sekalipun kalian akan membawa cahaya paling besar.”
Maria mengangguk. “Takdir kami sebagai Sahabat para penguasa matahari.”
Vanta menggeleng. “Aku selalu memikirkannya sebagai pilihan. Kau dan Kraya telah memilih untuk memenuhi ramalan gadis asing yang hidup jauh di masa lalu. Tidak lebih.”
“Mungkin memang begitu,” kata Maria, memandang laut gelap yang jauh membentang hingga ia menyentuh langit tak berbintang di cakrawala. “Tapi setelah bertemu dengan Yang Mulia secara langsung, menjadi saksi atas semua keputusan dan semua perbuatannya ... sejauh ini ... aku bersyukur, takdirku sudah ditentukan dengan sangat mulia. Berkesempatan membantunya adalah suatu kehormatan dalam bentuk tertinggi. Aku percaya kau juga merasakan itu?”
Setelah tampak merenung sejenak, Vanta menggeleng. “Maaf. Sayangnya, aku tidak pernah memiliki cukup dedikasi untuk menciptakan ... perasaan semurni dirimu. Bagiku, ini hanya misi. Aku akan membantu raja matahari kita hingga titik darah penghabisan. Mengamankan semua keberhasilan. Tapi hanya sebatas itu. Tidak ada ikatan lain.”
Maria tersenyum, mengangguk menghormati pendirian tersebut.
Kedua perempuan kemudian terdiam. Menyaksikan pertunjukan kembang api sambil menghabiskan jajanan. Selama beberapa menit itu, mereka terlihat normal. Seperti pengunjung lain yang hanya datang untuk menikmati festival.
Sampai Vanta mengusulkan—karena Toska dan Orion belum muncul juga—untuk membeli jajanan baru.
Berdiri di depan stan penjual berbagai jenis manisan, saat sedang membayar dua buah permen apel, Vanta merasakan pundaknya ditepuk oleh Maria yang sedang memerhatikan ke arah lain.
Atau, lebih tepatnya, ke arah Naku dan Ewa.
Si kembar yang berjalan tenang, bersama arus lautan manusia di dermaga, menuju salah satu gudang laut. Baik Vanta atau Maria sudah memerhatikan ilustrasi keduanya seharian ini. Tidak mungkin mereka salah orang.
“Demi Laniakea. Apakah ... itu juga hanya ilusi? Bukankah Naku seharusnya berada di Batvia? Mereka akan berjalan ke mana?” tanya Maria, pelan dan panik. “Apa yang harus kita lakukan?”
Vanta kembali mengenakan masker gas, memberikan permen apelnya untuk sepasang anak yang kebetulan lewat, baru mengatakan, tenang, “Kita harus berimprovisasi.”
***
Di dalam anjungan kapal pesiar berkarat. Pertemuan rahasia kelompok Garuda Hitam dan keempat utusan presiden.
“Pertanyaan pertama.” Kei memulai acara mereka, menunjukkan telunjuk kecilnya. “Kemarin, kalian mengirim pesan kepada pihak kami. Isinya menjelaskan tentang suatu keinginan. Penjadwalan ulang pertemuan raja dan ratu matahari yang baru dengan Presiden Hera. Kenapa?”
Kraya mendeham, berdiri tegak. Mengimbangi kesempurnaan sikap milik seorang anak laki-laki yang menjadi lawan bicaranya. “Sebelum menjawab, kami ingin menawarkan permintaan maaf karena sudah melakukan pembatalan secara sepihak.”
“Wow,” kata Halimun, datar, “Kraya juga berlagak seperti orang tua.”
Kamelia langsung memperagakan cara berjalan seorang kakek. Membungkuk dan tertatih-tatih, sambil serak mengatakan, “Namaku ... Kraya ... dan aku ... lupa ... bahwa aku sebenarnya masih ... ingusan ....”
Kei mengangguk memerhatikan. “Baiklah. Memohon izin untuk mengulas situasi kita sejauh ini?” ia bilang. “Hanya agar semua lebih memahami, nilai sebenarnya dari aksi penerimaan maaf yang sebentar lagi kami lakukan?”
“Silakan,” kata Kraya, sambil memberi isyarat melanjutkan menggunakan gerakan tangannya.
“Terima kasih. Jadi, kemunculan raja dan ratu Mirabilis ditandai oleh berakhirnya Jeda yang diciptakan Errard. Peristiwa bersejarah itu terjadi delapan hari lalu. Tepat demikian?”
Kraya mengangguk. “Benar.”
Kei melanjutkan ulasannya, “Menurut laporan kalian, pada hari pertama Tir Novellus kembali bergerak setelah Jeda, raja dan ratu Mirabilis muncul dalam keadaan tertidur di singgasana tinggi?”
“Benar.”
“Dalam laporan itu juga tertulis tentang jadwal rencana pertemuan pertama kita. Yaitu, tepat setelah mereka terbangun?”
“Benar.”
“Wow. Perbendaharaan kata Kraya membuatku nyaris menyesali hubungan persahabatan kami.” Halimun menggeleng tanpa ekspresi.
“Tunggu! Cinta, kau belum memutus tali persahabatanmu dengannya? Setelah semua yang dia lakukan terhadap kita?!” Kamelia mengguncangkan pundak Halimun.
Kei mengabaikan interupsi aneh itu dengan luwes. “Hal tersebut membawa kita ke hari ketujuh. Hari terbangunnya raja dan ratu matahari yang baru. Kalian langsung melaporkan peristiwa itu, sekaligus mengonfirmasikan bahwa pertemuan akan terjadi pada hari kedelapan. Atau, lebih tepatnya, kemarin malam.”
“Benar,” kata Halimun dan Kamelia bersamaan, sebelum Kraya sempat mengucapkannya. Pasangan suami-istri, pria hijau dan wanita merah itu, berpandangan, lantas tergelak (tawa Halimun terdengar datar, sementara Kamelia sangat berlebihan).
Kraya menangkupkan kedua tangan, seperti Maria, untuk meminta maaf atas gangguan tak perlu dari teman-temannya. “Hanya aksi protes mereka karena merasa telah dipaksa mengikuti acara ini.”
“BENAR!” kata Halimun dan Kamelia, kembali bersamaan.
Kei tersenyum maklum menerimanya. Mengatakan, “Presiden Hera sudah mengorbankan banyak hal di dalam agendanya, hanya untuk mempersiapkan malam pertemuan kita yang ternyata tidak pernah terlaksana.”
“Dan oleh karena itulah kami menawarkan permintaan maaf yang sedalam-dalamnya,” kata Kraya, masih sambil menangkupkan kedua tangan.
“Permintaan maaf diterima.” Kei menyentuh dadanya sendiri sambil mengangguk.
“Hore! Aku suka akhir yang berbahagia!” Kamelia berjoget sendirian. “Cinta? Kau juga begitu, kan?”
Halimun, tanpa ekspresi sama sekali, angkat bahu. “Kurasa ini bahkan belum dimulai.”
“Hah? Apa?! Tidak mungkin!” Kamelia jatuh bertekuk lutut, menjerit dramatis. “PADAHAL MEREKA SUDAH NGOMONG SEBANYAK ITU ....”
“Ya. Tadi hanya mengulas.” Halimun mengusap punggung istrinya, mencoba menenangkan dengan sangat datar, tidak meyakinkan. “Memperpanjang basa-basi.”
“Tapi—”
“Aku tahu.”