ESTRI

Mega Yohana
Chapter #1

#1 Sira Tâtamuyan Kṣatriya Saṅkeṅ Kuṭa

ARJUNA-WELIRANG, 1241Ç/1319M

Pagi hari, Gunung Arjuna tampak gagah berdampingan dengan Gunung Welirang. Di lembah yang terletak di antara dua puncak Arjuna-Welirang, sebuah perkampungan kecil tampak terasing. Kabuyutan Lembah Himpun, begitulah perkampungan itu disebut. Sebuah kabuyutan yang terpisah jauh dari keramaian. Tidak banyak orang yang tinggal di kabuyutan ini. Tak lebih dari dua lusin rumah. Warga Kabuyutan Lembah Himpun hidup dengan damai dan berdampingan dengan alam. Mereka memenuhi kebutuhan mereka sendiri dengan memanfaatkan alam di sekitar mereka. Tanah yang lapang dan subur mereka olah dan tanami dengan padi atau ubi, singkong, juga tanaman pangan lainnya. Mereka buat sendiri gerabah untuk perabotan rumah tangga. Juga, perkakas dari anyaman bambu. Selapan sekali, beberapa orang penduduk kabuyutan akan pergi ke kota untuk menukarkan barang-barang yang dihasilkan warga Kabuyutan Lembah Himpun dengan barang-barang kebutuhan lainnya seperti kain, perkakas dari perunggu atau besi, dan sebagainya.

Dari punggung gunung, seorang pria berkuda mengamati Kabuyutan Lembah Himpun. Tangan kanannya menaungi mata dari matahari pagi yang menyilaukan, sementara tangan kirinya memegangi tali kendali kuda tunggangannya. Kabuyutan Lembah Himpun terlihat seperti sekumpulan kotak-kotak di antara pepohonan. Pria itu menurunkan tangan kanannya sehingga tampak wajahnya yang tegas. Usianya terlihat tak lebih dari lima puluh warsa, badannya tegap dan perawakannya terlihat seperti bukan orang biasa. Lekuk di lengan dan perutnya menandakan pria itu sering berlatih olah tubuh. Pakaian yang dikenakannya—kain berwarna terang yang tersampir di pundak, perhiasan emas yang terkalung di leher serta melingkari lengan atasnya dan juga menghiasi telinganya—menunjukkan kasta pria itu yang kemungkinan dari kaum kesatria.

"Gusti."

Pria itu menoleh ke belakang, ke arah dua lelaki berkuda yang terlihat lebih muda darinya.

"Kalian tunggu di sini!" perintahnya. Setelah melihat dua pengikutnya mengangguk, dia segera menggoyangkan kekang kuda hitam bercorak putih yang menjadi tunggangannya. Tumitnya menyentuh tubuh si kuda, mengisyaratkan agar berlari.

Tak perlu waktu lama, pria itu telah memasuki wilayah Kabuyutan Lembah Himpun. Ditariknya tali kendali agar sang turangga melambatkan langkah. Pria itu tersenyum dan mengangguk tiap kali berserobok pandang dengan warga dusun. Dia memahami rasa penasaran yang terpancar di mata dan wajah warga. Tentu bukan hal yang umum di sini, ada orang berpakaian kesatria melintasi jalan dusun. Dia melanjutkan perjalanan menuju sebuah rumah di sudut kabuyutan. Rumah itu tampak sederhana, sebagaimana rumah warga Kabuyutan Lembah Himpun pada umumnya. Di halaman rumah, terdapat sebuah pohon jambu dersana yang besar dan rimbun. Bunga jambu yang berwarna merah keunguan tampak berguguran di tanah. Seorang pria terlihat keluar dari rumah diikuti seorang wanita yang menggendong anak kecil dan seorang lelaki tua.

"Kalau begitu, kami pamit dulu, Ki," si pria yang pertama keluar berujar.

"Terima kasih sekali lagi, Ki Buyut," wanita di sampingnya menimpali.

"Hm." Pria tua berambut dan berjenggot kelabu yang dipanggil Ki Buyut mengangguk. Tangannya terulur, mengelus kepala bocah laki-laki yang tertidur di gendongan si wanita. "Jangan lupa meminumkan jamunya. Jika besok panasnya tidak turun, kalian bawa lagi dia ke sini."

Si pria dan wanita sama-sama mengangguk. "Baik, Ki," jawab mereka berbarengan, lalu berbalik. Mereka membungkuk saat berpapasan dengan pria berkuda yang berbelok memasuki halaman rumah.

Si pria berkuda balas mengangguk sembari menarik kekang kudanya agar berhenti. Dia lalu turun dan mengikatkan tali kuda pada pagar rumah yang terbuat dari batang bambu.

"Gusti? Gusti Tumenggung?"

Sang tamu berbalik, senyumnya merekah. "Ki Buyut Wasesa," sapanya dengan sedikit membungkuk.

Ki Buyut Wasesa bergegas mendekat dan menjura. "Sebuah kehormatan, Gusti berkenan mengunjungi gubuk hamba," ujarnya, membungkuk dalam-dalam.

Lihat selengkapnya