"Uhuk! Uhuk!"
Terbatuk-batuk karena tersedak pisang, Ki Buyut Wasesa menepuk-nepuk dadanya. Diraihnya cangkir gerabah dan seketika dia tandaskan isinya.
"Gusti," panggil lelaki sepuh itu kepada Tumenggung Surapati yang tampak berbinar-binar matanya. "Maaf, Gusti bilang apa tadi?"
"Kita jodohkan Parwati dengan Sanjaya," sahut Tumenggung Surapati cepat. Wajahnya memancarkan kebahagiaan dengan senyuman lebar. "Saya lihat, Parwati gadis yang santun dan sepertinya juga memiliki sifat ghṛṇā. Dia pasti bisa mengubah Sanjaya yang bandel, keras kepala, dan suka melawan itu menjadi pribadi yang lebih baik."
Tumenggung Surapati mengangguk-angguk sendiri, merasa puas dengan gagasannya. Seolah-olah, itu adalah gagasan yang sangat cemerlang dan Tumenggung Surapati bangga telah memiliki gagasan itu.
Ki Buyut Wasesa tertawa salah tingkah.
"Maaf, Gusti. Bukannya saya menolak, tetapi Parwati itu...." Menggantungkan kalimatnya, Ki Buyut Wasesa menggaruk rahang yang sebenarnya tidak gatal. Ditatapnya sang tamu agung yang tampak berbinar-binar.
Sementara itu, pada saat yang sama di ladang dekat kabuyutan, seorang laki-laki muda meringkuk di tanah. Dari perawakannya, kemungkinan dia berusia dua puluhan. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dia sedang kesakitan, sementara kedua tangannya mendekap selangkangan.
"Adudududuh...," keluhnya sembari berguling ke kanan dan ke kiri. Di depannya, seorang gadis berdiri menjulang. Gadis cantik berkain cokelat-hitam yang membawa bakul berisi ubi itu menatapnya garang.
"Bukannya sudah kubilang untuk tidak main-main denganku? Dasar pria cabul!" semprot si gadis sebelum berbalik meninggalkan laki-laki yang meringkuk kesakitan di tanah.
Tangan kanan laki-laki itu terulur seolah-olah hendak meraih si gadis. "Parwati...," rintihnya, "aku cuma bercanda...."
Ya, gadis garang, galak, dan kejam itu tak lain adalah Parwati, cucu Ki Buyut Wasesa yang oleh Tumenggung Surapati dianggap lembut, santun, dan penuh welas asih.
Ki Buyut Wasesa menatap Tumenggung Surapati yang berkuda menjauh. Lelaki sepuh itu menghela napas. Dia tidak bisa menolak gagasan sang tumenggung. Bagaimanapun, Tumenggung Surapati telah banyak berjasa bagi keluarga mereka. Ki Buyut Wasesa juga sadar bahwa dirinya tidak bisa selamanya menjaga Parwati. Dia tidak lagi muda, tubuhnya tidak sekuat dahulu. Jika Parwati tidak kunjung bersuami, Ki Buyut Wasesa cemas cucunya itu akan hidup sendirian nanti saat dirinya tidak ada.
Tak terasa, matahari telah tergelincir dari puncaknya. Padahal, sepertinya tidak lama kunjungan Tumenggung Surapati. Namun, pembicaraan yang mengalir membuat lupa waktu. Ketika sang tamu agung pamit, pagi telah berubah menjadi sore.
Setelah sosok Tumenggung Surapati tak lagi terlihat, Ki Buyut Wasesa pergi ke tegal di belakang rumah untuk mengumpulkan kayu bakar. Dia sedang memanggul kayu untuk dibawa ke dapur ketika mendengar panggilan Parwati.
"Kakek? Kakek di mana?"
"Sudah pulang?" Ki Buyut Wasesa menyapa sembari meletakkan kayu di samping tungku saat melihat Parwati memasuki dapur.
Parwati mengangguk. "Hm. Di mana tamu tadi, Kek?" tanyanya sambil mulai mencuci ubi.
"Sudah pulang."
"Bangsawan dari kota raja, ya?"
"Begitulah."