Malam hari di Kabuyutan Lembah Himpun tidak benar-benar sunyi. Kerik jangkrik tumpang tindih dengan kuak katak dan uhu burung hantu. Ada pula suara berbagai jenis burung malam lainnya.
Parwati duduk di samping jendela. Tepatnya, di samping meja kecil yang terletak di sudut dekat jendela. Gadis itu sedang menjahit baju kakeknya dengan diterangi oleh damar di meja.
Ki Buyut Wasesa duduk bersila di tikar. Lelaki sepuh itu mengamati cucunya yang tampak telaten menjahit. Memang, jika melihat Parwati mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, menjahit, atau menyajikan makanan, siapa pun akan mengira dia adalah gadis yang lemah lembut. Parwati memiliki wajah bulat yang terlihat seperti wanita keibuan dan sabar. Banyak orang telah tertipu oleh perawakan Parwati. Sebab, berbanding terbalik dengan penampilannya yang sepenuhnya menurun dari sang ibu, sifat Parwati sepenuhnya menurun dari sang ayah. Makanya, di kabuyutan ini pun biasanya para pemuda tidak berani bermacam-macam dengan Parwati.
Ki Buyut Wasesa menopang dagu dengan sebelah tangan. Tidak puas, tetua Kabuyutan Lembah Himpun itu mengambil ubi rebus yang tersaji di hadapannya.
"Tumenggung Surapati itu orang yang baik, Wati," ujarnya sembari mengupas ubi.
"Tapi, anaknya belum tentu," sahut Parwati acuh tak acuh.
"Kamu, kan, belum ketemu anaknya."
"Nah! Apalagi belum ketemu. Mana bisa orang berumah tangga kalau sama sekali tidak kenal dan belum pernah ketemu?"
"Itu si Warih sama Darta, juga dijodohkan dulunya." Ki Buyut Wasesa mencoba berpendapat.
"Terserah, pokoknya Wati tidak mau. Titik!"