Kedai Uwa Jamus biasa ramai pada malam hari. Malah, makin malam makin ramai. Karena, kedai itu satu-satunya di wilayah kota raja yang merangkap sebagai tempat hiburan. Tuak, arak, dan berbagai minuman keras lain yang didatangkan dari berbagai daerah ada di kedai ini. Kedai Uwa Jamus juga menyediakan jalir yang tak hanya cantik-cantik, tetapi juga berbakat. Ada yang pandai menyanyi, menari, atau bermain kacapi.
Terletak di sudut tepi kota raja, kedai Uwa Jamus merupakan yang paling besar di kota raja. Bangunannya bertingkat serta memiliki bentuk dan tata ruang yang apik dan menarik. Dindingnya terbuat dari kayu jati berukir yang dipoles dengan minyak kemiri hingga mengilap. Lantainya dilapisi bajralepa sehingga tidak membuat kotor pakaian meski duduk di lantai. Lantai bawah kedai untuk tempat minum dan makan serta menikmati pertunjukan, sedangkan di lantai atas terdapat bilik-bilik tempat para jalir menerima tamu istimewa dan juga tempat tinggal Uwa Jamus dan istrinya. Meja-meja kecil dan rendah ditata dengan jarak satu depa di lantai bawah. Di tengah ruangan, terdapat panggung rendah—hanya setinggi dua kilan—berbentuk lingkaran dengan garis tengah sekitar dua depa.
Banyak laki-laki yang senang menghabiskan waktu di kedai Uwa Jamus, termasuk Sanjaya dan teman-temannya. Saat ini pun Sanjaya dan dua temannya sedang menikmati tuak sembari menonton tarian yang dibawakan dua wanita cantik bertubuh sintal di panggung tengah kedai. Mengiringi tarian dua wanita itu, seorang wanita yang tak kalah cantik memainkan kacapi dengan anggun. Sanjaya dan dua temannya duduk melingkari meja kecil di sebelah kanan pintu masuk. Terdapat beberapa bumbung tuak, sepiring kacang rebus, ayam bakar—yang hampir habis—beralas daun pisang, dan sesisir pisang di meja itu.
Sanjaya menuang bumbung hingga tegak, tetapi tak ada setetes pun tuak yang keluar. Rupanya, isi bumbung itu sudah habis. Dia meletakkan bumbung dengan sembarangan di lantai sebelahnya, lalu bersendawa keras.
"Kurasa, sudah saatnya aku pulang," ujarnya seraya memperhatikan kedua telapak tangannya. Dia mengerjap beberapa kali, berusaha mengusir penglihatan-ganda karena terlalu banyak minum.
"Pulang? Bukankah ini masih terlalu sore?" Salah seorang temannya bertanya sembari mengernyit. Sekarang sudah waktunya sirep bocah. Untuk ukuran warga pada umumnya, tentu saja saat ini sudah malam, tetapi bagi mereka ini masih terlalu awal untuk pulang.
"Barata, kau... lupa, ya? Ramanya kemungkinan pulang malam ini," sahut teman Sanjaya yang lain sembari melemparkan sebiji kacang ke muka Barata.
Barata menangkap kacang itu dan mengunyahnya. "Oh, iya. Kakang Mahesa benar. Kalau begitu, ayo kita pulang!"
"Tidak mau!" tolak Mahesa. "Kau saja yang pulang sama Sanjaya. Aku masih ingin di sini."
"Tapi, Kang, bukankah kalau Gusti Tumenggung pulang... artinya bapamu juga pulang?"
Mahesa dan Sanjaya seumuran, sedangkan Barata dua warsa lebih muda. Oleh karena itulah, Barata memanggil Mahesa dan Sanjaya dengan sebutan Kakang.
Mahesa menggoyang-goyangkan telunjuknya. "Kau memang pintar," pujinya, kemudian berdiri. "Ayo!"
"Ups!" Barata menangkap Mahesa yang hampir jatuh. Dia lalu meletakkan dua keping uang perak di meja dan menarik Sanjaya agar ikut berdiri. Di antara mereka bertiga, Barata memang lebih sadar karena dia hanya minum sedikit.
Sanjaya menurut saja saat Barata menarik dirinya dan Mahesa keluar dari kedai. Mereka menyusuri jalanan yang lengang menuju Istana.
Pada tata letak Istana, terdapat satu gapura utama dan dua benteng dalam yang membagi wilayah yang sangat luas dan mampu menyediakan tempat tinggal bagi sekitar 700 jiwa. Benteng yang paling dalam membatasi bagian inti Istana. Di sana terdapat kediaman raja dan anggota keluarga raja. Raja Jayanagara dan para putri kedaton serta ibu suri tinggal di sini. Pintu masuk menuju wilayah ini disebut wijil pisan atau gerbang pertama. Di luar benteng yang membatasi tempat tinggal para keluarga raja tersebut merupakan tempat tinggal para pejabat tinggi kerajaan, para resi, pujangga, kesatria yang masih memiliki darah bangsawan, wipra, sajjana, dan abdi kerajaan lainnya. Sanjaya dan keluarganya tinggal di sini. Selain itu, di sini terdapat balai untuk belajar, balai pertemuan antarpejabat tinggi, dan lainnya. Lingkungan ini juga dikelilingi benteng yang lebih sering disebut benteng kedua dengan pintu masuk yang disebut wijil kapiṅ rwa atau gerbang kedua. Di depan benteng kedua ini, terdapat beberapa pasewan atau balai penghadapan yang di antaranya merupakan balai terbuka dan lainnya dijaga secara ketat oleh para prajurit raja. Ada pula tempat sabung ayam kerajaan. Terkadang, saat senggang Sanjaya turut menyaksikan persabungan meski tidak pernah ikut bertaruh. Wilayah ini juga dikelilingi benteng dengan gapura utama di sebelah utara. Gapura itu sangat besar dan tampak gagah, terbuat dari besi penuh ukiran yang luar biasa. Di samping kanan gapura, terdapat panggung tinggi pengawas yang disusun selaras berlapis batu dan dilepa putih. Di sebelah kanannya lagi, terdapat pagajahan berupa tugu-tugu batu berjajar-jajar tempat gajah-gajah raja diikat. Masing-masing tugu diberikan atap peneduh sehingga gajah di bawahnya tidak kepanasan atau kehujanan.
Di depan gapura utama, terdapat jalan besar untuk para penduduk kota raja atau para pedagang yang datang ke kota raja untuk berniaga di pasar besar. Di sebelah timur ada perempatan besar dan di dekat perempatan itu terdapat pohon beringin agung. Di sebelah utara pohon beringin itu, atau di sebelah barat jalan yang menuju ke utara dari perempatan, berderet-deret ada kuil Brahma, kuil Syiwa, dan kuil Buddha dengan atap susun tiga. Di dekat ketiga kuil tersebut terdapat batur patawuran, sebuah meja batu untuk meletakkan sesajen.
Di seberang gapura utama, di sebelah utara jalan besar, terdapat balai waṅuntur—alun-alun besar tempat menghadap raja—dan balai witāna—tempat raja duduk saat menerima tamu—serta weśma panaṅkilan, rumah singgah yang disediakan untuk orang-orang atau tamu yang hendak menghadap raja. Kemudian, menyebar di sekitarnya terdapat rumah-rumah para pejabat Istana lainnya serta rumah-rumah penduduk kota raja. Di daerah inilah Mahesa dan Barata tinggal.