ESTRI

Mega Yohana
Chapter #5

#5 Alah Umaṅluh ta Sira Saṅka ri Tan Wĕnaṅ Nira

Sanjaya terbangun dengan kepala sakit luar biasa. Dia mengerjap beberapa kali dan bangkit, merasakan punggungnya pegal-pegal karena tidur di permukaan keras. Ketika menengok, dia mendapati dirinya berada di kursi. Pemuda itu mengernyit, lalu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Ini bukan kamarnya, dia dapat memastikan itu. Menelengkan kepala, Sanjaya mengingat-ingat. Pergi minum tuak, pulang bertiga, Rama di rumah, kabar... oh, Sanjaya ingat sekarang!

Pemuda itu mengembuskan napas dengan kesal. Dia mengenali sekelilingnya sekarang. Dia berada di rumah Barata.

"Barata?" panggil Sanjaya. Dia langsung mengernyit karena kepalanya sakit mendengar teriakannya sendiri. "Di mana dia?" gumamnya saat tidak ada sahutan. Bahkan, kalau dipikir-pikir, rumah ini terasa sunyi sekali. Sepertinya Barata dan Kang Raka tidak ada di rumah.

Dengan kepala berdenyut-denyut hebat, Sanjaya mencoba berdiri dan terhuyung-huyung menuju pintu depan. Sinar matahari yang menyilaukan menyakiti matanya begitu pintu terbuka, membuat kepalanya makin berdenyut. Sanjaya mengangkat lengan untuk melindungi matanya dan mengintip, dan... terbelalak.

Di depan Sanjaya, tepatnya di sekeliling leher pemuda itu, setengah lusin ujung tombak mengunci geraknya. Sanjaya memundurkan kepala dan mengamati tombak-tombak itu, yang batangnya dipegang oleh setengah lusin prajurit yang mengepungnya. Dia sedikit menjulurkan leher untuk melihat melalui celah-celah bahu prajurit yang mengepung. Sekitar satu regu prajurit berbaris di halaman dengan sikap siaga.

"Apa yang kalian lakukan?" Itu pertanyaan bodoh, karena apa lagi yang lebih jelas daripada kenyataan bahwa mereka sedang mengepung dirinya? Meski demikian, Sanjaya tetap menanyakan itu. Dia anak Tumenggung Surapati. Dia berhak tahu siapa orang yang sudah kurang ajar memerintahkan para prajurit ini. Kecuali....

Sanjaya memperhatikan pakaian mereka. Sabuk di pinggang mereka sangat dikenali pemuda itu. Bagaimana tidak? Sabuk itu menandai pasukan Surapati. Sekarang dia tahu siapa yang memerintahkan para prajurit ini.

"Gusti, mari pulang," kata salah satu prajurit.

Sanjaya meringis, ini benar-benar keterlaluan. "Aku akan pulang nanti," ujarnya mencoba tersenyum. "Kalian berlebihan sekali. Mengacungkan tombak begini, bagaimana kalau kalian melukaiku? Memangnya kalian siap menghadapi kemarahan Rama?"

Para prajurit saling pandang, tampak bimbang antara tetap mengepung Sanjaya dengan tombak atau menurunkan tombak mereka. Bagaimanapun, pemuda di hadapan mereka ini adalah putra tunggal Tumenggung Surapati, tumenggung yang cukup dihormati di Majapahit. Namun, ini juga atas perintah Gusti Tumenggung. Beliau bahkan dengan jelas sekali mengatakan agar mereka tidak lengah sedikit pun terhadap siasat Gusti Sanjaya.

"Apa lagi yang kalian tunggu?" tuntut Sanjaya tidak sabar. "Cepat, turunkan tombak kalian!"

Tampak memiliki kesimpulan yang sama, para prajurit itu memundurkan sedikit tombak mereka sehingga ujungnya yang runcing kini berjarak agak jauh dari leher sang gusti. Tetap saja, mereka tidak akan menurunkan tombak mereka.

Lihat selengkapnya