ESTRI

Mega Yohana
Chapter #6

#6 Wiwāhakrama

Tiga pekan berlalu dengan cepat. Selama lima belas hari itu pula Sanjaya terkurung di rumah. Lebih dari lima kali dia mencoba kabur, dan setiap kali selalu tertangkap. Meski demikian, Sanjaya belum menyerah. Pagi ini adalah kesempatan terakhir Sanjaya untuk meloloskan diri dari perjodohan tidak masuk akal yang diatur ramanya ini.

Sanjaya membuka sedikit pintu kamarnya untuk mengintip, tetapi segera dia tutup kembali ketika melihat dua prajurit berdiri siaga di depan kamarnya. Mencoba cara lain, Sanjaya menengok jendela kamarnya. Saat melihat sekitar jendela itu cukup aman, Sanjaya segera melangkahkan kaki melewati ambang jendela. Namun, baru sebelah kakinya yang di luar, sebuah teguran mengejutkannya.

"Gusti, Anda dilarang meninggalkan bilik oleh Gusti Tumenggung."

Sanjaya tersentak dan menoleh. Seorang lurah prajurit berdiri menempel di dinding di samping jendela dan sedikit tertutupi oleh tanaman hias. Pantas saja tadi Sanjaya tidak melihatnya.

"Aku tidak ke mana-mana," ujar Sanjaya. Dia merengut sambil memasukkan kembali sebelah kakinya, kemudian berjalan ke tempat tidur dan mengempaskan tubuh di sana. Sejenak berlalu, Sanjaya menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar. Dia mengerang seraya mengentakkan kaki di tempat tidurnya. Dengan kekesalan berlipat, pemuda itu duduk dan mengacak rambutnya, lalu mengusap wajah dengan kasar.

Sebenarnya, yang membuat Sanjaya merasa berat hati bukan soal pertunangannya, tetapi soal kesiapannya. Sanjaya merasa belum siap. Dia merasa masih suka bersenang-senang. Dengan melajang, dia bisa bermain bersama teman-temannya. Pergi berburu, minum-minum, atau bermalam di bilik lantai atas kedai Uwa Jamus. Sanjaya bisa melakukan itu karena dirinya masih bebas. Namun, jika sudah menikah... betapa pun serampangannya gaya hidup Sanjaya, dia tetaplah putra Tumenggung Surapati. Dia menghargai sebuah ikatan dan tidak akan melanggar ikatan. Jika dia beristri sekarang, akan ada banyak hal yang tidak bisa lagi Sanjaya lakukan seperti saat belum beristri. Lagi pula, entah ejekan apa saja yang akan dilontarkan teman-temannya nanti. Ah, Sanjaya benar-benar tidak siap.

Pada saat yang sama di tempat yang jauh dari kota raja, sebuah pedati dengan roda kayu melintasi jalanan berdebu. Matahari pagi mulai tinggi, tanah kering membuat debu-debu beterbangan ketika dilewati oleh pedati. Bunyi "klung-klung" dari loceng yang tergantung di leher sapi penarik pedati mengiringi perjalanan itu. Seorang laki-laki desa yang kurus bertindak sebagai pengendali pedati. Sementara itu, di dalam pedati duduk seorang pria tua dan seorang gadis yang tampak cemberut. Mereka adalah Parwati dan Ki Buyut Wasesa. Di sekitar mereka terdapat beberapa buntalan kain, dua keranjang pisang, satu keranjang singkong, dan buah-buahan lainnya yang mereka bawa dari Lembah Himpun. Ada juga karung berisi berbutir-butir kelapa.

Pagi itu cerah, burung-burung terdengar ramai berkicau. Namun, baik Parwati maupun Sanjaya sama-sama diliputi perasaan tidak menyenangkan. Sanjaya yang merasa kehidupannya tidak akan lagi bebas seperti biasanya, dan Parwati yang masih marah atas keputusan sewenang-wenang kakeknya dan pria bangsawan dari kota raja.

Setelah perjalanan yang cukup panjang, pedati akhirnya berhenti. Ki Buyut Wasesa turun terlebih dahulu, diikuti Parwati yang menaungi matanya dari terik matahari dengan lengan. Hari sudah siang, mereka telah sampai di alun-alun. Tumenggung Surapati yang telah munggu kedatangan mereka segera menyambut.

"Selamat datang, Ki. Perjalanan kalian baik?"

Ki Buyut Wasesa tersenyum dan mengangguk atas pertanyaan Tumenggung Surapati. "Baik, Gusti."

Tumenggung Surapati balas tersenyum. "Saya senang mendengarnya. Hampir saja saya meminta Kakang Swastha untuk menjemput kalian kalau-kalau kalian mendapat kendala dalam perjalanan," ujarnya terdengar lega. Pria di sampingnya yang dipanggil Swastha hanya tersenyum sembari mengangguk.

"Mari, Ki." Tumenggung Surapati mempersilakan Ki Buyut Wasesa dan Parwati untuk mengikutinya masuk melewati gapura utama. Beberapa pelayan bergerak menurunkan muatan dari pedati.

Parwati melangkah pelan dalam diam di belakang kakeknya dan Tumenggung Surapati. Di belakangnya, Paman Swastha mengikuti untuk memastikan Parwati tidak salah jalan karena gadis itu sedang mengedarkan pandangan. Seumur hidup, memang baru sekarang Parwati menginjakkan kaki di Istana dan dia begitu takjub. Bangunan ini terlihat begitu megah dan luar biasa. Para pelayan terlihat berseliweran, mereka berhenti sejenak dan menjura dengan sedikit membungkuk ketika berpapasan dengan orang yang Parwati duga merupakan bangsawan atau pejabat tinggi kerajaan. Mereka juga menjura saat berpapasan dengan Tumenggung Surapati. Saat mereka menjura kepada dirinya, Parwati merasa kikuk. Dia ikut membungkuk dan balas menjura. Selain pelayan, terdapat pula beberapa regu prajurit yang tengah berjaga.

Karena sibuk memperhatikan sekelilingnya—dan balas menjura tiap ada pelayan yang menjura kepadanya—Parwati tidak menyadari ketika kakeknya dan Tumenggung Surapati berbelok. Dia berjalan lurus. Beruntung, Paman Swastha memberitahunya.

"Gusti baru pertama ke Istana?" tanya Paman Swastha setelah Parwati kembali berjalan di jalur yang benar.

Parwati mengangguk. "Jangan panggil saya 'gusti', Paman. Saya cuma gadis dusun."

Paman Swastha tersenyum. "Gusti akan menjadi junjungan saya," tukasnya, yang membuat Parwati mengembuskan napas tidak senang.

Lihat selengkapnya