Eternal Sanctuary: The Marionette

Adinda Amalia
Chapter #2

Chapter 02: A Marshmallow From Aaron

Udara hangat dan manis khas Elysium Islands memenuhi sepanjang kepulauan, terkadang berputar saat hembusan angin lewat. Di atas langit, First Aircraft terbang di daerah-daerah bagian utara, melakukan patroli. Sementara Second Aircraft melakukan tugas serupa di selatan.

Sejak beberapa hari lalu, salah satu pesawat kecil selalu keluar dari Second Aircraft di pagi hari. Kemudian akan kembali lagi saat sore tiba. Kendaraan sekunder milik Sanctuary untuk transportasi orang dalam jumlah kecil. Aaron dan Atlas bepergian sambil menggeser-geser data para warga yang diperoleh dari Departemen Sosial dan Kependudukan. Berusaha mencari seseorang dengan latar belakang, kehidupan, dan kondisi medis sedemikian rupa yang kemungkinan akan sesuai dengan kriteria subjek eksperimen Atlas.

Namun, mereka belum juga menemukan. Elysium Islands itu luasnya bukan main. Penduduk besar. Cukup memungkinkan bahwa beberapa orang belum terdata, terutama mereka yang hilang, sulit dijangkau pemerintah, atau sebagian yang menolak kooperatif dengan lembaga catatan sipil.

Pagi tadi, Aaron berangkat lagi dengan Atlas. Lama-lama, pesawat kecil sudah terasa seperti kamar kost—dia seperti minggat dari Second Aircraft karena hanya kembali ke sana untuk tidur di malam hari—lengkap dengan ibu kost cerewet. Meski tidak seperti Theodore yang terang-terangan pernah menyebut malewife di depan muka Atlas langsung, Aaron juga sama lihainya dalam menarik reaksi kesal pria itu meski dengan caranya sendiri.

Aaron memang tak pernah ikut-ikut untuk menyinggung soal malewife. Namun, dia paham mengapa kata-kata itu bisa keluar dari mulut Theodore. Atlas beruntung saja karena jabatannya sebagai profesor utama sehingga sangat disegani. Andai tidak, semua orang di Sanctuary Research Tower pasti sudah berulang kali memujinya dengan elegan, harum, rambut dan pakaiannya selalu tertata rapi, lalu satu kata yang mewakili itu semua: cantik.

“Kita ke timur,” perintah Atlas, setelah mereka memeriksa ulang data penduduk untuk sekian kalinya. “Berdasarkan catatan, ada kompleks perumahan baru yang para penghuninya belum tercatat. Mungkin kita dapat menemukan seseorang di sana.”

“Bagaimana dengan semua catatan medis?” Aaron melirik dari kursi sebelah pilot, ke bangku belakang tempat Atlas berada.

Atlas menghela napas. “Beberapa orang dengan penyakit bawaan tercatat memiliki satu dua organ yang berfungsi lebih kuat daripada manusia pada umumnya. Namun, tetap saja tidak signifikan. Alih-alih menemukan orang dengan catatan medis yang menunjukkan kondisi fisik di atas rata-rata, aku kebanyakan menemukan sebaliknya. ”

Aaron menatap depan kembali. “Masuk akal.”

Selang kurang lebih satu jam terbang di antara awan-awan, pesawat kecil mereka mulai merendah. Daratan di bawah sana mulai terlihat. Hijau khas pohon-pohon besar dan tinggi di hutan, membentang lebar nyaris seluas mata memandang. Di tepi, ada atap-atap rumah, cukup berjarak. Di sisi lain, hamparan ladang terpampang. Menjadikannya pemukiman di sana terpelosok.

Syukurlah, mereka hendak mendarat, pikir Atlas.

Elysium Islands, selain diisi kota-kota maju dan padat penduduk, juga masih memiliki banyak area hijau. Hamparan bunga tulip dan dandelion dengan turbin-turbin angin raksasa, misalnya. Juga hutan luas ini, sebagai pemasok berbagai sumber daya alam, penyedia oksigen, dan penyeimbang lingkungan alam. Hutan terbesar mereka ada di bagian selatan.

Sekali lagi, selatan.

“Tunggu!” Atlas langsung mengangkat tangan untuk meraih sandaran kursi tempat Aaron berada sambil mencondongkan tubuh lebih dekat. “Bukankah aku memerintahkan untuk pergi ke timur?!”

“Memang benar.” Aaron menoleh belakang menatapnya. Dalam pembawaan sopan dan kaku khasnya, ada senyuman tipis, entah bermakna serupa atau sebaliknya—mungkin dua-duanya. “Namun, aku mengingat pernah melihat sesuatu di selatan. Tidak ada salahnya untuk memeriksa.”

“Aaron!” Atlas mengerang. 

“‘Seorang profesor yang profesional, tak akan mengabaikan satu pun hal potensial di depan mereka hanya karena ada sesuatu yang secara pribadi tidak disukai. Benar bukan, Prof Atlas?” Lekuk di ujung bibir sang kapten, terangkat sedikit lebih tinggi.

Atlas makin kesal, tetapi dia juga tak punya jawaban selain iya.

Pesawat mendarat beberapa menit setelahnya, di atas sebuah tanah lapang luas di sisi pemukinan. Aaron turun lebih dulu, disusul Atlas di belakangnya. Sang kapten menyusuri sekitar, menyapa beberapa warga melintas. Bahkan di tempat terpencil dan terpelosok seperti ini, Sanctuary tetap dikenali dengan baik oleh mereka dari seragam khasnya yang tak pernah berubah sejak puluhan lain.

Lihat selengkapnya