Zeta berpisah dengan Eve untuk kembali ke tempat kediaman kelompoknya saat pagi hari mulai menjelang. Ia memasuki hutan, menyembunyikan dirinya dari sosok sang mentari yang akan menyapanya beberapa saat lagi. Pemuda bersayap hitam itu tak membutuhkan waktu lama untuk melintasi hutan gelap tersebut, karena di tengah-tengah hutan itu-lah klan-nya tersebut berdiam.
Zeta memasuki gerbang desa. Bau busuk yang menyengat menyambutnya di ambang pintu, namun tak mengusiknya sedikitpun untuk tetap masuk ke kediamannya. Zeta melintasi jalanan desa yang lembab dan remang-remang karena tertutup oleh ribuan pohon di hutan. Dilihatnya kondisi penduduk desa di sekelilingnya. Seperti biasa, kekelaman dan duka menghiasi suasana desa kecil itu, tercermin dari raut wajah para penduduk. Para penduduk desa merupakan Ras Evil yang notabene-nya berpenampilan sama dengan Zeta: berpakaian warna gelap dan memiiki sayap hitam di punggungnya.
Kedatangan sang pangeran tak disambut meriah oleh para penduduk. Ras Evil memandang semua penduduk setara. Rakyat jelata, kaum ksatria, bangsawan, bahkan keturunan raja sekalipun menanggung kemiskinan dan penderitaan yang sama. Beberapa dari mereka menghujami Zeta dengan pandangan dingin dan kosong, seolah mempersalahkan semua penderitaan ini kepada pemimpin ras.
Tangis pilu muncul dari kejauhan. Sambil menunduk, Zeta terus melangkah, berusaha mengabaikannya. Semakin ia menyusuri jalanan desa, suara tangisan semakin terdengar di mana-mana. Tatapam Zeta akhirnya mengarah pada seorang bocah laki-laki yang sedang menangisi sebuah jenazah sosok renta. Tubuh yang berupa tulang berbalut kulit itu terbujur di hadapan sang bocah. Mata sang jenazah terbuka dan mengarah ke atas penuh kehampaan.
Di sudut lain, Zeta kembali menemukan pemandangan lain yang memilukan. Sesosok remaja puteri sedang terkapar, merintih, sambil memegangi perutnya. Menyaksikan semua itu, Zeta hanya bergeming lalu melanjutkan perjalanannya.
Hal-hal tersebut sudah menjadi makanan sehari-hari. Zeta sering menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri berbagai jenis adegan memilukan yang ia temui di penjuru desanya, mulai dari salah seorang penduduk yang mati kelaparan, pembunuhan, pencurian, hingga kanibalisme. Semua terekam jelas dalam ingatannya, dan membuatnya tak terlalu terusik dengan kejadian-kejadian tadi.
Desa ini memang sudah tak memiliki harapan akan kehidupan dan kebahagiaan. Ia pernah mendengar kisah kalau beberapa ribu tahun yang lalu Ras Evil masih bisa mengecap kebahagiaan di bawah sinar mentari. Namun, saat ini, ras-nya hanya bisa mengecap kepahitan dari istilah yang disebut penderitaan.
Suara panggilan namanya menyadarkan Zeta dari alam lamunan. Seseorang berlari ke arahnya sambil terus memanggilnya. Ia adalah salah satu petinggi istana yang merupakan sahabat terbaik Zeta.
"Yuu?"
"Zeta!" Yuu terengah. Ia berhenti di hadapannya untuk mengatur napas. Setelah itu, tanpa penjelasan, ia langsung menarik tangan Zeta, membawa pemuda itu ke satu tempat. Dari arah langkah mereka, Zeta yakin kalau Yuu membawanya ke istana. Padahal ia juga ingin ke sana. Tapi, kenapa Yuu harus repot-repot menjemputnya? Ditambah lagi, air muka Yuu nampak pucat dan panik sehingga Zeta yakin kalau sesuatu yang buruk pasti tengah terjadi.
"Kondisi ayahku?" Zeta menebak di tengah perjalanan mereka. Yuu menoleh tapi hanya mengatupkan bibir. Pandangannnya kembali lurus melihat jalanan yang terbentang. Dengan berat hati, sahabat baik Zeta itu mengangguk samar.
"Bagaimana kondisinya?" tanya Zeta kelam karena firasat buruknya diperkuat oleh reaksi Yuu.