Eternal Shangri-La

Pamella Paramitha
Chapter #3

Rencana Penyerangan

"Kau yang bertanggung jawab meneruskan perjuangan ayahmu," Ene, salah seorang rekannya, panglima petinggi kerajaan itu angkat bicara. Ia menghadapi sosok Zeta yang sedang menelungkup di meja ruang kamarnya. Sehari setelah pemakaman sang ayah, Zeta masih nampak tak bersemangat. Ia terus menunjukkan wajah muramnya dan menolak untuk bicara pada siapapun. Ia juga sebenarnya lebih memilih untuk mengasingkan diri dengan mengurung dirinya di kamar. Tetapi, keempat sahabat Zeta yang merupakan petinggi kerajaan berkeras untuk merundingkan sesuatu dengan pemuda itu sehingga mau tak mau Zeta harus menyanggupinya.

Ketiga sosok itu telah memasuki ruangan kamar Zeta. Sang pemilik kamar tetap tak terlalu menyambut kedatangan mereka. Ia menelungkupkan wajahnya bahkan setelah rekan-rekannya itu mulai angkat bicara secara bergantian, merundingkan banyak hal mengenai penerus tahta.

"Kita harus cepat mengangkatmu sebagai raja. Kaulah satu-satunya yang pantas, Zeta..." Ene kembali bicara sambil menghadapi sosok Zeta, walau ia tahu, Zeta pastinya tak akan merespon apapun.

Zeta masih diam seribu bahasa. Ia membiarkan orang-orang di sekitarnya memanggil namanya berulang kali, membujuknya agar mau ikut berunding.

"Berhentilah menangis, Zeta! Raja memang sudah meninggal, tetapi kau harus kuat!" Yuu menepuk pundak sahabatnya untuk memberinya semangat, tetapi Zeta langsung menepisnya. Yuu menghela nafas, mendekap lengannya sendiri sambil menggelengkan kepalanya.

"Zeta," panggil Yuu pelan. Yang bersangkutan tetap tak bereaksi.

Esse yang berdiri di antara Ene dan Yuu kini mulai gemas melihat respon pasif pemimpin baru mereka. Ia menggenggam erat pergelangan tangan Zeta lalu menariknya. Zeta pun terjungkal dari kursi. Bunyi debuman terdengar saat tubuh Zeta menyentuh lantai ruangan.

"Zeta!" Esse membentak sekuat tenaga. Suaranya menggelegar ke penjuru ruangan, namun tetap tak mengusik sosok Zeta saat itu. Esse memperhatikan Zeta yang berdiri lunglai, mengambil kursi di dekatnya, lalu kembali duduk dengan wajah tertunduk.

"Bangun Zeta! Ayo bangun!" Esse merenggut kerah baju Zeta. Ia memaksa tubuh lemas Zeta untuk berdiri. Tangan Esse mencengkram dagu Zeta, memaksa pemuda itu untuk menatap kedua matanya.

"Lihat aku! Sampai kapan kau mau bersedih, HAH?!"

Zeta berpaling, kembali menyembunyikan ekspresi wajahnya dari Esse. Yang bersangkutan pun semakin geram. Ia menghempaskan tubuh Zeta ke kursi. Suara berdebum kembali terdengar saat tubuh ringkih Zeta menabrak kursi.

Ketiga rekan Zeta bergeming memperhatikan pertengkaran itu. Mereka ingin melerai, namun tatapan bengis Esse seketika mengurungkan niat mereka. Tak ada pilihan selain menjadi penonton pasif yang menyaksikan pertengkaran.

"Terserah kau!" Esse membentak marah. Ia membalikkan badannya lalu berjalan keluar dari ruangan. Yuu menarik lengan Esse untuk menghentikan langkahnya, tetapi yang bersangkutan segera melepas rangkulan itu lalu melenggang pergi begitu saja.

Ketiga orang itu memperhatikan sosok Esse yang sudah menghilang di balik pintu. Setelah itu, pandangan mereka mengarah pada sosok Zeta yang masih terdiam pasif di kursi.

"Zeta ...." Yuu kembali memanggil nama sahabatnya. Ia berjongkok agar pandangannya bisa sejajar dengan wajah Zeta. Ia menyentuh kedua pundak sahabatnya, berharap agar sentuhannya bisa membuat sahabatnya itu sadar lalu menengadahkan wajahnya.

"Kau tak bisa bersedih lebih lama. Sekarang saatnya kau harus bangkit dan memenuhi permintaan ayahmu yang terakhir," Ene kembali angkat bicara. Ia melipat tangannya sambil memperhatikan sosok Zeta.

Zeta menengadah perlahan. Matanya mulai berani menatap sorot mata rekan lainnya, walau dengan sorot penuh kehampaan. Berbagai pemikiran memenuhi otaknya, mengenai pesan terakhir ayahnya dan desakan rekan-rekannya

Dipejamkan matanya sambil menggeleng pelan. "Aku ... tak bisa ...." bisik Zeta pelan dan lirih "Aku tak bisa memenuhinya ...." Zeta melanjutkan ucapannya. Setelah itu ia kembali tertunduk.

Ucapan Zeta otomatis menimbulkan kegemparan di antara rekan-rekannya itu.

"Zeta! Apa yang kau pikirkan? Kalau bukan kau, siapa lagi yang akan menjadi raja klan ini?"

"Bukan aku!" Zeta kembali menengadah untuk menghadapi wajah Yuu. "Aku tak seharusnya menjadi anak seorang penguasa .... Aku tak seharusnya menggantikannya .... Lebih lagi, aku tak seharusnya berada di antara kalian!"

"Zeta!"

"Tinggalkan aku sendiri!" Zeta memotong ucapan Ene. "Dengarkan kami!" Yuu berusaha menyadarkan Zeta, tetapi yang bersangkutan kembali memotong ucapan sahabatnya itu.

"Kumohon ... tinggalkan aku sendiri ...." Zeta mendesis. Kedua rekannya tercekat. Mereka saling pandang untuk mempertimbangkan permintaan Zeta melalui isyarat nonverbal mereka.

"Baiklah Zeta. Kuharap kau memikirkan lag ucapanmu itu, karena kaulah yang bisa memimpin klan ini. Kau lihat, rakyat sangat membutuhkanmu sebagai ..."

Lihat selengkapnya