Zeta memanggil semua rekannya untuk berkumpul di ruang pertemuan. Sambil menunggu kedatangan mereka, Zeta terhanyut dalam pemikirannya. Sang pangeran menduga kalau keputusannya itu akan mengundang perdebatan cukup sengit di antara rekan-rekannya sehingga sejak awal ia harus mempersiapkan diri.
Dalam satu tarikan nafas, Zeta meyakinkan dirinya kalau ia bisa membujuk mereka untuk menghentikan atau paling tidak menunda penyerangan.
Ya! Aku adalah pemimpin mereka, seharusnya mereka menurut padaku
Namun, rasanya mustahil terjadi mengingat sikap rekan-rekannya pada Zeta. Tak ada yang mendengarkannya, meskipun Zeta adalah sang pewaris tahta, pemimpin mereka. Sehingga, ia merasa ragu apakah ia bisa membujuk teman-temannya atau tidak.
Rekan-rekan Zeta mulai memasuki ruangan pertemuan. Yuu pertama kali masuk lalu menempati salah satu kursi yang terletak dekat jendela, posisinya berseberangan dengan Zeta. Setelah itu, sosok Ene mengekor Yuu lalu menempati kursi di sebelah kiri pemuda berambut hitam panjang itu. Berikutnya, Esse memasuki ruangan lalu menempati kursi di samping kanan Ene. Terakhir, Enme datang sambil mengedarkan pandangan misterius. Ia menyeringai pada Zeta keduanya tak sengaja bertatapan. Tak lama, ia mengalihkan pandangannya lalu menduduki kursi yang bertempat di sudut ruangan, jauh dari Zeta dan ketiga rekannya yang lain.
Keheningan kembali bermain. Zeta, sebagai pemimpin pertemuan tak kunjung membuka percakapan, sementara keempat sosok lain menunggunya.
"Katakan, pangeran. Kau ingin membicarakan penyerangan itu, bukan?" cceletuk Enme tiba-tiba. Seisi ruangan langsung menghujamkan tatapan kaget ke arah sang peramal istana. Dengan tenang, sorot mata Enme tertuju pada Zeta.
"Zeta ..." panggil Yuu seraya menatap wajah Zeta lekat-lekat.
Zeta menghembuskan nafasnya pelan-pelan. Pada akhirnya ia harus mengatakannya secara gamblang. "Ya... apa yang dikatakan Enme benar. Aku ingin membicarakan masalah penyerangan ini." ungkap Zeta. Keempat rekannya tak merespon, hanya mendengarkan seluruh penjelasannya.
"Kita tunda penyerangan! Kuminta kalian semua untuk tidak melakukan penyerangan dalam waktu dekat ini,"
Yuu, Esse, dan Ene terkejut. Mereka saling berpandangan seolah mempertanyakan kesungguhan Zeta. Setelah itu, tatapan mereka bertiga menghujam Zeta, seolah mempertanyakan arti dari keputusannya.
"Penundaan penyerangan?" Ene merespon tenang. "Jadi inikah tema rapat kita kali ini?" Ia tersenyum sarkartis.
"Apa maksudmu, Zeta?! Apa yang ada dalam pikiranmu? Kenapa kau bisa memiliki rencana untuk menunda penyerangan?" Giliran Esse yang berkomentar geram.
Zeta menyandarkan tubuhnya, mencoba untuk bersikap tenang Ia melipat jari-jarinya sambil memangku kedua tangannya. Setelah itu, ia lanjut menjelaskan.
"Aku sudah mendapatkan cara lain untuk mengubah nasib ras kita. Aku yakin kalau cara ini berhasil, kita tak perlu menyerang desa Eden, bukan?"
Rekan-rekan Zeta kembali saling pandang.
"Memangnya apa rencanamu, pangeran?" Esse bertanya, mewakili rekan lainnya.
Zeta kembali terdiam, namun kali ini cukup lama. Ia membiarkan teman-temannya bergelut dengan prediksi masing-masing mengenai rencana Zeta itu. Akhirnya, setelah cukup lama bungkam, Zeta pun kembali angkat bicara.
"Blue Heaven!" sebut Zeta. "Kudengar tempat itu amat subur. Aku sedang berusaha mencari tahu mengenai keberadaannya. Kalau kita bisa menemukannya, kita bisa mengajak seluruh warga untuk tinggal di sana!" Zeta menjelaskan antusias. Ia terdiam sebentar, menunggu respon dari teman-temannya. Mereka bergeming cukup lama setelah Zeta menjelaskan rencana itu.
Zeta pun memperhatikan rekannya satu per satu. Sorot mata mereka tampak ragu. Bahkan. Esse terkekeh seolah memojokkan dirinya. Zeta kecewa karena tak ada seorangpun yang mempercayai rencana tersebut.
"Blue Heaven?" Esse yang paling pertama mengejeknya. "Kau percaya kalau tempat bernama Blue Heaven itu benar-benar ada?"