Eternal Shangri-La

Pamella Paramitha
Chapter #13

Alasan untuk Percaya

Debur ombak terdengar dari kejauhan, menjadi pertanda kalau ia sebentar lagi akan tiba di pantai. Langkah Eve yang gontai kini mulai bersemangat. Ia melewati pepohonan di hutan menuju ke sumber suara. Dinginnya udara beserta gelapnya malam tak mengikis niat Eve. Ia sudah memantapkan diri untuk menemui Zeta, menyelesaikan perselisihannya, meski harus menyambangi pantai malam-malam begini.

Zeta biasanya mendiami tempat itu seharian. Jika pada sore hari Eve memilih untuk kembali ke rumahnya, maka Zeta akan tetap diam di pantai. Entah apa alasannya. Mungkin karena sifat dasar anak itu yang suka berada di tempat-tempat sepi. Atau mungkin karena Zeta memang menyukai pantai.

Ia berharap, malam ini Zeta berada di pantai. Eve tak bisa menunda lagi pertemuannya karena sudah beberapa malam ia tak bisa tidur nyenyak. Kegelisahan terus meliputi pikirannya. Di tengah kegalauannya, Eve teringat momen percakapannya dengan sang ayah. Kata-kata darinya seketika menyadarkan Eve. Ia seharusnya tidak membenci Zeta hanya karena ia berasal dari Ras Evil. Eve yakin tidak semua penduduk ras Evil adalah orang jahat. Pembunuh ayahnya memang berada di sana, tetapi bukan berarti ia harus memukul rata kebenciannya pada seluruh penduduk.

Ia memang masih anak-anak, tetapi ia yakin kalau pandangannya tidak salah. Eve akan terus memegang prinsip itu sampai ia dewasa.

Keluar dari hutan, Eve berlari menuju ke pantai. Dalam waktu singkat, ia sudah berdiri di atas hamparan pasir putih, melayangkan pandang ke sekitarnya. Tanah lapang ini sepertinya tak berpenghuni selain dirinya. Lalu, ke mana Zeta? Apakah malam ini ia tak berada di sini

Masih penasaran, Eve pun menyusuri bibir pantai untuk mencari keberadaan sosok itu. Dengan nafas tersengal, Eve kembali melihat sekitarnya. Sosok Zeta masih belum ia temukan. Tapi, Eve belum mau menyerah. Sepasang mata Eve tertuju pada sebuah bukit karang. Mungkin, penjuru pantai bisa terlihat dari atas sana.

Gadis itu pun mendaki bukit karang yang paling tinggi. Permukaan karang ini amat licin. Eve harus berhati-hati jangan sampai ia tergelincir. Dengan susah payah, ia pun berhasil mencapai puncak tebing.

Deburan ombak menyambutnya. Tersentak, Eve mundur beberapa langkah karena ketakutan. Nyaris saja ia terkena cipratan ombak. Kalau tak menjaga keseimbangannya, bisa-bisa Eve tergelincir lalu jatuh dari tebing. Kepalanya melongok ke bawah untuk melihat seberapa tinggi bukit tersebut dari permukaan laut. Tubuh Eve seketika mendingin. Ia menelan salivanya lalu berpaling, tak ingin melihatnya lagi.

Ia kembali melayangkan pandangan ke sekitarnya. "Zeta!" Seruan Eve menggema bersama bunyi deburan ombak. Berulang kali ia memanggil nama itu, berharap mendapatkan jawaban. Tetapi, hasilnya nihil. Sepertinya Zeta memang tidak berada di sini.

Eve menunduk lesu. Ia berjongkok lalu memeluk lututnya. Hembusan nafasnya berat. Matanya sayu. Ia tengah menimbang-nimbang antara melanjutkan pencariannya atau pulang. Sebenarnya ia merasa kecewa karena Zeta tidak berada di sini. Tetapi, Eve juga tak bisa berbuat apa-apa.

"Eve!" Suara Zeta langsung membangkitkan harapannya. Eve berdiri lalu melayangkan pandangan ke sekitarnya. Dari atas tebing, ia menemukan setitik kecil sosok yang berada di bibir pantai. Pasti itu Zeta! Tampaknya, ia masih belum menemukan keberadaan Eve di atas tebing.

"Zeta!" Panggilan Eve berhasil menunjukkan keberadaannya. Mata Zeta mengarah ke salah satu tebing karang yang paling tinggi, menemukan gadis kecil bersayap putih tengah melambai semangat padanya. Ia bahkan melompat-lompat karena antusias. Zeta langsung bergerak menuju ke bukit itu.

Saat Zeta hampir tiba di puncak tebing, ia menyaksikan ada ombak besar yang menghantam tepian tebing. Eve yang berada di sana pun ikut terbawa. Kedua mata Zeta membulat. Jantungnya berdegup kencang.

"Eve!" Zeta memekik lalu berlari menuju ke tepi tebing. Eve sudah tak ada di sana. Ombak besar telah membawa tubuh gadis kecil itu.

"Eve!" Cairan hitam pekat mengalir di pipi Zeta.

Lihat selengkapnya