Menurut sejarah, Ras Angel adalah ras mulia. Wujud bak malaikat sejalan dengan karakteristik mereka: penuh kasih, cinta damai, serta berhati mulia. Putih menjadi warna dasar yang mendominasi penampilan mereka, simbol dari kesucian.
Tapi, tetap saja itu semua hanyalah bagian dari sejarah.
Tangan-tangan jahil menyentuh bagian tubuhnya, mulai dari pipi, rambut, bahkan pinggang. Rayuan diselingi tawa genit mengiringi aksi pria-pria bersayap putih itu.
"Cantik juga. Pantas saja si pangeran iblis itu jatuh cinta." Beberapa pasang mata menyoroti setiap inci wajah Eve. Seringaiannya membuat gadis itu memalingkan muka. Muak.
"Ras Evil tak pernah memiliki stok wanita cantik. Penampilan mereka terlalu mengerikan! Makanya iblis itu beralih merayu gadis desa Eden."
Dalam kondisi biasa, Eve pasti akan memberontak. Tetapi, saat ini ia sedang terguncang hebat. Rencananya gagal, berakhir dengan penangkapan Zeta. Ditambah lagi, hatinya terombang-ambing oleh perkataan Sugiya. Pikirannya terlalu penuh, sehingga ia bersikap pasif layaknya boneka. Ia pun tak memberikan perlawanan ketika para pasukan yang menangkap Zeta kini beralih merayunya.
"Hei, ayolah lihat kemari." Salah satu dari bajingan itu menggunakan telunjuknya untuk menggeser arah wajah gadis yang sejak tadi hanya membisu dengan tatapan hampa. Deretan giginya terekspos saat melihat sepasang mata berwarna hitam itu menyorotnya kelam.
"Kalau kau bersedih, biar kami yang menghiburmu."
Aksi mesumnya tak sampai jauh, karena satu sosok keburu menarik pundaknya. Tanpa jeda, sosok itu mendaratkan sebuah bogem mentah di rahangnya. Si bajingan bersayap putih itu jatuh tersungkur.
"Apa yang kau lakukan pada adikku!?" Berang, Sugiya mendekati sosok yang kepayahan bangun. Tanpa ampun, ia menginjak punggungnya. Bunyi tulang berderak disusul oleh teriakan kesakitan dari pria itu.
"Apa yang kau lakukan?! Kau melukai pada petugas keamanan!" Bajingan lain menantang Sugiya. Pemuda itu tak gentar menghadapi beberapa anggota pasukan keamanan desa Eden mengerubunginya. Ia tak peduli pada jabatan mereka. Siapapun yang mengusik adiknya tak akan ia ampuni.
Perkelahian pun tak terelakkan. Sugiya cukup kuat menghadapi tiga anggota pasukan keamanan desa Eden yang notabene-nya berpengalaman dalam pertarungan. Ketika satu sosok berhasil ia jatuhkan, sosok lain menyerangnya. Sugiya menerima pukulan bertubi-tubi, tetapi ia tetap mempertahankan diri agar tidak jatuh.
Sepasang bola mata Eve bergerak, menyaksikan perkelahian sang kakak dengan tiga pasukan yang sudah menggodanya. Tetapi, gadis itu tetap saja bergeming. Pandangannya masih kosong. Sorot matanya masih sayu. Seolah, ia tak peduli lagi pada apapun yang terjadi di sekitarnya.
"Hentikan!" Sebuah teriakan sukses menghentikan perkelahian itu. Dua petugas keamanan yang tengah mengeroyok Sugiya seketika berhenti. Mereka berdiri dengan sikap hormat di hadapan seorang pria berambut hitam panjang. Usianya masih terbilang muda, tetapi ia sudah menyandang salah satu gelar tertinggi.
"Kapten Mana!" Seru mereka bersamaan sambil membungkuk dalam. Mata elang pria itu menatap mereka sejenak lalu beralih pada Sugiya yang tengah bangun sambil menyeka ujung bibirnya. Setelah itu, ia melirik Eve yang masih duduk di sudut ruangan, menerawang dengan pandangan kosong.
"Sugiya dan Eve. Ternyata kau adalah anak dari kepala Arkeolog di desa Eden." Mana mendekati Sugiya. Pemuda itu hanya menatap sinis, membalas senyuman dari kapten Mana.
"Terima kasih sudah melaporkan perbuatan pangeran ras Evil pada kami." Mendapati sikap dingin Sugiya tak membuat keramahan Mana memudar. Ia malah mengulurkan tangannya, mengajak Sugiya bersalaman.
"Saya kepala keamanan di sini. Maaf kalau anak buah saya sudah berbuat lancang padamu."
"Bukan padaku. Tapi, adikku." Sugiya mengarahkan pandangannya pada Eve. Mana ikut berpaling. Ia pun menundukkan muka sebagai bentuk permintaan maafnya.
"Eve ya." Mana bergumam lalu mengembuskan nafas berat. "Ia akan ditahan di sini karena sudah bersekongkol dengan pangeran ras Evil untuk mengacaukan desa Eden."
"Apa!?" Tampak jelas kalau Sugiya merespon negatif keputusan itu. Ia berkacak pinggang, menantang sosok yang beberapa tahun lebih tua darinya. Tentu saja, meski Eve berbuat salah, ia tak setuju dengan keputusan Mana untuk ikut menahan adiknya.
"Kalian tak perlu menahan Eve. Aku yang akan membawanya pulang."
"Tapi, dia sudah dihitung sebagai pengkhianat. Lagipula, ia masih harus menjawab pertanyaan dari penyidik."
"Semua sudah jelas. Tak ada yang perlu kalian tanyakan lagi. Eve hanya terhasut oleh iblis itu. Aku sendiri yang akan mengurusnya."
Sugiya beranjak meninggalkan Mana, sebagai isyarat kalau kata-katanya adalah mutlak. Saat mendekati Eve, pancaran matanya melembut. Ditatapnya gadis itu sembari menyentuh punggung tangannya. Eve bereaksi dengan membalas tatapan Sugiya, masih dengan sorot hampa.
"Kita pulang, Eve." Sugiya membimbing adiknya bangun. Ia merangkul gadis itu untuk membawanya pergi dari ruangan. Tetapi, panggilan Mana keburu menahan pergerakan Sugiya. Kepala pasukan keamanan itu menyunggingkan senyuman manis ketika Sugiya berpaling dengan sorot mata penuh curiga.
"Bisa kita bicara ... secara lebih pribadi?" Permintaan Mana tak langsung direspon. Sugiya tampak bergeming untuk mempertimbangkannya terlebih dahulu. Topik pembicaraan itu seketika terbayang di benak Sugiya. Pasti hal yang amat penting. Jangan-jangan, mengenai Blue Heaven.