Eternal Shangri-La

Pamella Paramitha
Chapter #18

Di Balik Gerbang

Zeta dan Eve menelusuri hutan tropis yang rimbun, bergerak dari satu batang pohon ke batang pohon lain untuk menyembunyikan sosok mereka dari para pengejar. Medan perjalanan yang sulit, ditambah dengan kegelapan malam yang menyelimuti hutan tersebut membuat Eve dan Zeta harus lebih hati-hati.

Eve mulai kelelahan, sehingga genggaman tangannya pada jari-jari Zeta pun mengendur. Stamina gadis itu memang mulai melemah setelah ia menggunakan hampir seluruh kekuatannya untuk menyembuhkan Zeta. Napas Eve putus-putus. Ia mulai terhuyung. Pandangannya berkunang-kunang sampai akhirnya Eve limbung. Nyaris saja ia jatuh terjerembab kalau Zeta tak menahan tubuh gadis itu.

"Eve!" Zeta mendekap tubuh Eve. Ia cemas mendapati wajah Eve yang pucat pasi.

"Kau baik-baik saja?" Zeta menyeka peluh yang menghiasi kening gadis itu.

Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Eve mengangguk lalu tersenyum. Ia sudah terlalu lelah, bahkan untuk mengeluarkan suara, tetapi ia berusaha menyembunyikannya dari Zeta.

Sang pangeran sepertinya mendeteksi kebohongan gadis itu. Ia tahu Eve sudah tak bisa melanjutkan pelarian ini. Zeta langsung berpikir sebentar untuk mengambil keputusan terbaik antara melanjutkan perjalanan menuju desa Inferno dengan kondisi Eve yang memburuk atau mencari tempat perlindungan sampai kondisi sang gadis membaik.

Eve membaca siluet wajah kebimbangan dari pemuda itu. Ia tak ingin membebani Zeta. Eve bersusah payah bicara untuk meyakinkan pemuda itu

"Lari, Zeta... biarkan aku di sini," Pinta Eve sambil menatap wajah Zeta lalu mengelus pelan pipi pemuda itu dengan jari-jarinya. Tentu saja permintaan tersebut akan ditolak mentah-mentah oleh Zeta.

"Tidak!" Tolak Zeta tegas. Ia memang harus menjaga Eve seperti janjinya pada Sugiya. Ia tak boleh meninggalkan Eve sendirian, apapun kondisinya.

Suara ribut terdengar beberapa jarak dari belakang. Zeta berpaling, menemukan para prajurit yang semakin mendekat. Eve dan Zeta memang tak bisa berlama di sini kalau tak ingin tertangkap oleh mereka.

"Aku akan menggendongmu ..." Zeta mengambil jalan tengah. Tanpa menunggu respon Eve, Zeta melingkarkan tangannya pada pinggang sang gadis lalu mengangkat tubuhnya. Kaki Zeta bergerak meski tak lebih gesit dari biasanya.

Dengan volume oksigen yang semakin sulit untuk ia raup, Zeta terus berlari menuju ke desa Inferno. Sedikit lagi, ia akan tiba di sana. Penduduk Inferno pasti akan melindungi mereka, dan Zeta juga berharap Eve akan mendapatkan pertolongan.

"Kita akan tiba sebentar lagi, Eve ...." bisik Zeta lembut. Eve mengangguk, tersenyum lemah pada sang pangeran. Tatapan mereka lurus ke depan. Meski hanya ada kegelapan, mereka berharap, di balik kegelapan itu, ada secercah cahaya harapan apabila mereka tiba di desa Inferno.

***

"Zeta ... apakah kita telah ... sampai?"

Eve berbisik ragu dari balik punggung Zeta. Meski ragu, Eve menyentuh pundak Zeta dengan pandangan mengarah ke depan. Sulit mempercayai apa yang ia saksikan. Namun, otaknya merekam kondisi mengenaskan itu, sehingga memaksa Eve untuk percaya.

Pintu gerbang desa terbuka lebar, menyingkapkan sebuah pemandangan mengenaskan pada mereka berdua.

Zeta dan Eve sudah menghadapi gerbang desa sejak beberapa menit yang lalu. Namun, sosok Zeta menghentikan langkahnya tiba-tiba ketika matanya menyorot sebuah pemandangan ganjil dari balik gerbang desa inferno. Kegelapan memang menyembunyikan sebagian kenyataan mengenai kondisi di dalam desa, namun Zeta tentu saja tak bisa dibodohi oleh sang malam. Dari hasil pengamatannya selama beberapa detik di depan gerbang itu, ia mulai bisa menyimpulkan sebuah realita yang terjadi di desanya.

Bau menyengat dari darah dan abu sisa pembakaran. Cahaya lemah timbul dari api yang masih menyala di balik kayu-kayu yang terbakar. Asap hitam mengepul di udara lalu lenyap tertelan oleh dinginnya udara. 

Semua petunjuk yang ia temukan mengantarkannya pada sebuah fakta. Namun, sayangnya fakta itu terlalu sulit untuk ia terima.

"Ti-dak," gumam Zeta dengan suara bergetar. Wajahnya mendadak pucat. Dengan gontai, Zeta melangkah meninggalkan Eve menuju ke bibir desa. Ia terhenti di sana, kembali memandangi isi desanya yang sudah hancur lebur tanpa sisa.

Suasana desa memang akan lebih jelas terlihat bila disaksikan dari jarak dekat. Di tengah keremangan, mata Zeta kini mampu menangkap onggokan mayat penduduk desanya. Zeta terkesiap, tak mampu berkata-kata.

Mereka semua mati. Zeta berjongkok memeriksa satu per satu mayat itu dan tak menemukan seorang pun yang hidup. Ia kembali berdiri lalu berjalan terhuyung-huyung sambil mengedari sekitarnya. Sepanjang perjalanannya, ia hanya menemukan mayat dan kubangan darah serta abu dan kayu terbakar. Desa ini memang sudah mati. Tak ada satu pun tanda kehidupan yang ia temukan di sini.

Zeta mendengar suara langkah mendekatinya. Ia yakin kalau Eve mengekori pergerakannya. Namun, pemuda bersayap hitam lebih memilih untuk meneruskan perjalanannya mengitari penjuru desa. 

Eve mengikuti Zeta tanpa bersuara. Ia tahu Zeta sedang terguncang dan mungkin butuh ketenangan untuk menghadapi ini semua sehingga membiarkannya adalah cara yang terbaik.

Sembari mengekori Zeta, Eve mengamati kondisi sekitar desa. Hatinya terenyuh menyaksikan keadaan desa inferno. Siapa yang tega melakukan ini? Apakah semua ini perbuatan keji ras-nya?

"Tidak ... mungkin ..." Eve menggumam. Pandangannya kembali mengarah pada sosok Zeta. Disusulnya pemuda itu agar bisa berjalan di sisinya. Tetapi, Zeta justru bergerak lebih cepat, seolah menghindar. Eve ngotot mengejarnya. Bagaimanapun, ia tak ingin kehilangan jejak pemuda itu.

Lihat selengkapnya