Ethereal Dream

Elgranada
Chapter #2

Halo, Arsen!

Embusan napas lemah keluar dari indra penciuman seorang lelaki yang sedang terbaring di ranjang mewah miliknya. Tatapan matanya kosong karena hanya kegelapan yang dapat ia lihat. Tubuhnya sangat lemah, bahkan untuk sekedar memiringkan badan pun ia tak sanggup. 

Entah apa yang sedang ia pikirkan, terkadang air mata tiba-tiba muncul dari dua manik yang sudah kehilangan binarnya. Bibirnya yang kering dan pucat sering kali bergetar menahan isakan tangis yang memilukan.

Rasendriya Liam Saguna yang lebih sering dipanggil Arsen. Ia adalah putra tunggal Wirawan Hamdan Saguna dan Anjani Tunggal Dewi, keduanya merupakan pengusaha properti khususnya di bidang desain dan konstruksi perumahan serta perkantoran yang cukup disegani. Sayang, harta yang mereka miliki tak mampu membeli kesembuhan untuk sang putra.

“Sayang….” Anjani memasuki kamar sang putra, sedangkan yang yang dipanggil hanya mengedipkan matanya lemah. “Mama bawa bolu kukus kesukaan kamu. Mama bantu buat duduk, ya.” 

Anjani langsung berusaha membantu sang putra agar dapat bersandar di headboard tempat tidurnya. Anjani selalu ingin menangis setiap kali menatap wajah pucat putra tunggalnya. Sudah dua tahun ia harus merasakan sakitnya menahan isak tangis, ia selalu berusaha untuk tidak terlihat lemah di hadapan Arsen.

“Sayang … sambil mama suapi, mama mau cerita ya?” Anjani selalu berusaha untuk berkomunikasi dengan Arsen, meski jarang mendapat respon. “Mama dan Papa tadi pergi untuk mencari teman baru buat kamu. Dia mau loh jadi teman baik kamu, namanya Qiandra, anaknya cantik dan baik. Dia juga minta bertemu lusa, kamu mau, kan?”

Arsen menanggapi dengan anggukan lemah, hal tersebut mampu membuat Anjani tersenyum senang. Jarang sekali Arsen mau menanggapi ucapannya, apalagi terkait “teman baru” yang selalu identik dengan psikiater baru.

***

Hari yang ditunggu akhirnya tiba, tetapi Arsen tak bisa datang ke rumah sakit karena tiba-tiba ada meeting mendadak yang mengharuskan papanya pergi ke kantor cabang di luar kota. Qiandra dengan senang hati memutuskan datang ke rumah keluarga Wirawan untuk melihat kondisi calon pasiennya. Ia senang bukan karena calon pasiennya orang kaya, tetapi ia senang karena sebentar lagi ia kan mencoba mengembalikan senyum sang calon pasien.

Ting… tong… ting … tong….

Suara bel membuat seorang perempuan paruh baya berlari tergopoh dari dapur menuju pintu utama. Perempuan itu kemudian membuka pintu besar penuh ukiran yang terbuat dari kayu jati. Perempuan tersebut terdiam sesaat ketika melihat senyum yang terlukis di wajah sang tamu.

“Dokter Qiandra?” tanya perempuan itu yang sebelumnya sudah mendapat pesan dari sang nyonya jika ada psikiater baru akan berkunjung.

“Iya benar, Bu. Saya ingin bertemu dengan Ibu Anjani,” jawab Qiandra dengan sopan.

Ah… iya, silakan masuk Nona. Nyonya Anjani sedang membantu putranya untuk mandi. Saya mbok Mirah, asisten rumah tangga di sini. Nah, Nona bisa tunggu di sini, saya panggilkan Nyonya Anjani dulu,” jelas mbok Mirah.

“Iya, Mbok. Terima kasih.” Qia kemudian mendudukan dirinya di kursi mahal milik keluarga Wirawan. Qia mulai menyisir pandangan mengelilingi ruang tamu tersebut, matanya tiba-tiba terpaku pada salah satu foto yang menampilkan Wirawan, Anjani dan seorang anak laki-laki yang memakai toga. Tak salah lagi, anak lelaki itu adalah Arsen calon pasiennya.

“Dokter Qiandra!” seru Anjani yang membuyarkan fokusnya pada foto keluarga tadi.

“Selamat pagi, Ibu Anjani,” sapa Qia sambil sedikit membungkukan badannya.

“Pagi, Dokter. Terima kasih sudah berkenan untuk berkunjung.” Anjani duduk di seberang tempat duduk Qia, “Mohon maaf, tadi saya harus membantu Arsen untuk membersihkan tubuhnya,” lanjutnya.

Ah …  iya, Bu. Saya paham.” Qiandra melemparkan senyum pada Anjani.

“Ini minumnya, Nona,” ucap Mbok Mirah sambil meletakan secangkir teh dan setoples kue kering di hadapan Qia.

“Jadi merepotkan, Mbok.” Qia menatap mbok Mirah.

“Tidak, Nona. Silakan menikmati tehnya,” ucap mbok Mirah.

Lihat selengkapnya