Euforia

Varenyni
Chapter #12

11. Emilia P.

Minggu kemudian Zidan mengunjungi rumah Lucy—yang entah kenapa menjadi kebiasaannya. Mama mempersilahkan Zidan duduk, membuatkannya minum dan membawakannya camilan, walau Zidan menolak, Mama bersikeras membawa minum dan makanan.

Tidak seperti Minggu yang lalu—di mana Lucy masih dalam keadaan mengumpulkan nyawa saat Zidan datang—Lucy Minggu ini sudah berpakaian rapi.

“Sudah rapi saja, tahu ya aku akan datang?” tanyanya dengan nada menyebalkan.

Lucy tersenyum meremehkan. “Kamu percaya diri sekali. Tapi kamu salah, setiap bulan aku menyempatkan diri untuk ke toko buku, dan aku akan ke sana sekarang. Kau pasti tidak suka tempat itu.”

“Aku memang tidak suka, tapi bukan benci, aku akan mengantarmu. Ayo berangkat sekarang.” Zidan berdiri, membenarkan jaketnya.

Lucy menarik tangan pemuda itu, membuatnya terduduk kembali. “Habiskan dulu minuman dan makanannya, kalau tidak Mamaku akan kecewa, nanti dia mengira masakannya tidak enak.”

“Oke.” Zidan mengambil satu camilan, mengunyahnya perlahan.

“Kenapa Mamamu tidak ikut bergabung di sini? Dan di mana adikmu? Aku tidak pernah melihatnya.” Zidan menoleh ke pintu seolah-olah ada adiknya Lucy di sana.

“Mamaku tidak suka ikut campur urusan anaknya, dan dia tidak tahu hubungan kita. Mama cuma berpikir kita teman biasa seperti aku dengan El dan Kak Bastian.” Lucy menghentikan ucapannya sebentar. “Kalau adikku, dia sudah pergi pagi-pagi tadi, katanya dia mau bertanding bola dengan teman sekelasnya.”

Zidan mengangguk-angguk. Mengajak Lucy keluar, namun Lucy memelototinya karena dia belum menghabiskan minumnya

“Ayo berangkat sekarang.” Zidan berdiri.

“Sebentar, aku izin Mama dulu,” ucap Lucy.

“Jangan lupa memberitahunya sekalian, nanti jam satu siang, kita ada janji dengan Violet dan Ali untuk kerja kelompok di rumahku!” seru Zidan.

Lucy yang sudah setengah jalan menuju Mamanya—menuju dapur, mengacungkan jempol sebagai jawaban.

***

Zidan melipat tangannya di depan dada, menyandarkan punggungnya di salah satu dinding toko buku, melihat Lucy memilih-milih di antara rak novel. Dia melihat-lihat satu buku, membaca bagian belakang buku, mengembalikannya. Lucy mengedarkan pandangannya, menemukan satu buku, langsung mengambilnya, tanpa membaca bagian belakang buku seperti tadi, Lucy memeluk buku itu lantas berseru girang.

Kenapa Lucy tidak memilih secara acak saja? Bukankah semua buku yang di sana sama saja? Lalu kenapa dia memeluk buku itu erat-erat laksana kekasihnya?

Zidan menggelengkan kepala. Mungkin perasaan seperti itu yang dia rasakan saat membeli pensil dengan berbagai ukuran, juga membeli kanvas, pasti Zidan akan memeluk kanvas itu. Mungkin rasa senang yang Lucy rasakan sama seperti saat Zidan bermain gitar dan bernyanyi.

“Ayo kita ke rumahmu, pasti Ali dan Violet sudah menunggu,” ajak Lucy sembari menenteng kantung plastiknya.

“Buku apa yang kau beli?” Bukan penasaran dengan buku yang dibeli Lucy, namun Zidan hanya ingin sekadar tahu.

Lucy mengambil novelnya, menunjukkan di depan Zidan. “Novel Yang Terlupakan oleh Emilia P.”

Zidan menelan ludah. “Singkirkan buku itu dari hadapanku!”

Lucy terkejut karena Zidan tiba-tiba menaikkan intonasinya. Lucy terdiam di tempat, tangannya gemetar karena dia tidak pernah melihat Zidan semarah ini.

“Kenapa kau marah? Apa karena aku terlalu lama memilih buku? Maafkan aku.” Lucy menundukkan kepala, tanpa sadar air matanya menetes.

Zidan terkejut, dirinya merasa serba salah. Dia menyentuh lembut bahu Lucy. “Maaf, aku tidak bermaksud emosi, aku juga tidak marah padamu. Kau tidak bersalah, aku yang salah. Aku tidak bisa mengendalikan diriku, karena ....”

Buku itu, batin Zidan.

Lucy menyeka ujung matanya, bergumam, “Aku seperti anak kecil saja tiba-tiba menangis.”

“Kau memang anak kecil.” Zidan terkekeh.

Setengah perjalanan menuju rumah Zidan, tiba-tiba sepeda motor yang dinaiki Zidan dan Lucy berhenti, sepertinya mogok. Zidan turun dari sepeda motor, begitu juga dengan Lucy.

“Kenapa motornya?” tanya Lucy khawatir—kalau mereka harus mendorong sepeda motor itu.

“Motornya capek, katanya kau terlalu berat.” 

Lihat selengkapnya