“Apa kau pernah dengar kata-kata bijak bahwa orang-orang yang terlihat bahagia di depan adalah orang yang menyimpan kesedihan paling dalam?”
***
Sudah satu bulan sejak Lucy memutuskan untuk mengadopsi cerita Zidan menjadi novelnya. Kurang beberapa bab, dan novelnya akan selesai. Lucy akan mengirimkannya ke penerbit, dan dia bisa memenuhi cita-citanya ... menjadi penulis.
“Kenapa senyum-senyum sendiri?”
“Itu Zidan di sini—” Lucy yang menunjuk layar laptop, menghentikan ucapannya lantas memekik kaget.
“Sejak kapan kau di sini?” tanyanya setengah emosi, setengah terkejut—tokoh fiksi yang diciptakan di ceritanya tiba-tiba muncul.
Zidan tersenyum menyebalkan, dia duduk di sebelah Lucy tanpa meletakkan tasnya terlebih dahulu di mejanya.
Kelas masih sepi, hingga lucy bisa mendengar detik jarum jam, tidak ada tanda-tanda mahluk lain selain mereka—jangan membayangkan mereka yang tidak terlihat. Satu hal yang membuat Lucy terkejut, mimpi apa Zidan sampai datang lebih awal? Biasanya dia datang setelah guru tiba.
“Mimpi apa kau sampai datang lebih awal?” tanya Lucy, pandangannya masih fokus ke laptop dan jarinya sibuk mengetik.
“Aku tahu kebiasaanmu datang lebih awal, jadi aku juga datang lebih awal agar bisa bersamamu. Habisnya ... kau terus menulis dan mulai mengabaikanku.” Zidan mencebikkan bibirnya kesal.
Lucy menghentikan jarinya yang hendak menekan huruf I, menoleh pada Zidan dengan pandangan bersalah. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya ingin menunjukkan pada Mama kalau aku bisa menjadi penulis, agar beliau tidak merasa sia-sia membelikanku laptop.”
Zidan menggeleng, melambaikan tangan. “Kenapa kau jadi serius begini?”
Lucy tidak menjawab karena tidak tahu harus mengatakan apa, tiba-tiba saja dia tidak bisa menggunakan kemampuannya untuk menyusun kata-kata, jadi dia hanya bungkam.
“Kalau begitu bagaimana Hari Minggu? Ayo kita jalan-jalan? Kita bisa mengajak Violet dan Ali?” Zidan menawarkan sebuah ide.
Lucy menatap layar laptop, walau sekarang tidak ada yang ingin dia tulis, Lucy hanya tidak ingin melihat kesedihan Zidan jika dia menolak permintaan pemuda itu.