Banyak suka dan duka yang dialami Lucy dalam menyelesaikan novelnya—walau lebih banyak susahnya. Lucy bahkan merelakan sebagian waktu tidurnya untuk menulis novel, selain karena menulis saat malam hari membuat otaknya lebih cemerlang, menulis malam hari juga bebas dari amukan Mamanya, dengan cacatan Lucy tidak ketahuan. Kalau Mamanya tahu, dia pasti akan marah karena takut anaknya sakit.
Belum lagi saat tiba-tiba naskah Lucy hilang, atau tidak sengaja terhapus, untung saja dia bisa memperbaikinya, kalau tidak ia akan sangat sedih. Kelas sudah sepi karena penghuninya kembali ke rumah masing-masing, hanya tersisa Lucy dan Violet yang sama-sama sibuk dengan laptop mereka masing-masing.
Lucy meminta Violet untuk menjadi proof-reader-nya, karena Violet orang yang sangat teliti, jika dia membaca cerita Lucy sebelum dikirim, Lucy bisa mengetahui kesalahan di novelnya, atau mungkin ada plot hole yang menganga lebar dan Lucy tidak mengetahuinya, maka Violet akan memberitahunya.
“Apakah kau menemukan plot hole?” tanya Lucy pada Violet yang sibuk membaca novel Lucy di laptopnya.
“Apa itu?” Violet menoleh sebentar pada Lucy, lalu memfokuskan kembali pandangannya pada laptop.
“Lubang besar. Maksudku, apakah kau menemukan kejanggalan di ceritaku? Seperti sesuatu yang terjadi tanpa alasan dan tidak dijelaskan sampai cerita selesai?”
“Tunggu sebentar, aku tidak bisa menyimpulkan. Tinggal satu bab lagi yang harus kubaca.” Violet fokus pada layar laptop seolah-olah laptop itu kekasihnya. “Ah! Benar-benar bagus, aku dibuat jatuh cinta dengan tokoh laki-lakinya!”
Lucy tidak menanggapi seruan Violet, dia memang seperti itu, kalau menyukai sesuatu akan berseru-seru, dan jika ada yang menganggunya, dia akan marah. Jadi Lucy diam saja daripada harus terkena kemarahan Violet.
“Bagaimana kau membuat tokoh-tokoh ini? Mereka terasa sangat nyata, apalagi Mars, aku suka pemuda itu. Walau di awal cerita di menderita, namun akhir kisahnya membuatku terharu.” Violet membuat gerakan menghapus air matanya yang bersifat maya.
“Mars? Dia sebenarnya Zidan di dunia kita,” jawab Lucy.
“Really? He is Zidan? Kau membuat tokoh dengan Zidan sebagai inspirasi?” Violet tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Yes, he is Zidan. Why?”
“Bukan apa-apa, hanya saja ... ceritanya sedikit sadis.” Suara Violet mengecil sepertinya takut Lucy tersinggung.
“Memang kenyatannya seperti itu. Terlepas dari sadis atau tidak, apakah ceritaku menurutmu pantas untuk dikirim ke penerbit?”
“Aku tidak perlu memikirkan dua kali, ceritamu pantas untuk kau kirimkan.”
Lucy tersenyum puas. “Aku akan mengirimnya besok sore, kalau begitu aku pulang dulu ya. Ada sesuatu yang harus kukerjakan di rumah.”
“Oke. Aku akan di sini sepuluh menit lagi.”
Lucy mengangguk. Menutup laptopnya dan memasukkannya laptop ke tas. Melambaikan tangan pada Violet sebelum meninggalkan kelas.
Suara detak jam terdengar lebih keras, kelas menjadi lebih sepi saat Lucy pulang. Tiba-tiba Violet merinding, membayangkan jika ada hantu yang tiba-tiba muncul di balik pintu. Lebih parahnya lagi jika ada hantu perempuan berambut panjang yang mengelantung di atasnya, rambut perempuan itu menjuntai hingga menyentuh kepala Violet.
Violet refleks mendongakkan kepala. Tidak ada apapun di sana kecuali bohlam lampu dan kipas angin. Kenapa dia jadi parno begitu?
Violet mengidikkan bahu. Dia menyalakan musik di laptopnya agar kelas tidak terlalu sepi. Dengan begitu dia tidak akan takut ada hantu berambut panjang lagi ....
Brak!
Violet menjerit ketika tiba-tiba terdengar suara sesuatu menabrak pintu. Apakah itu hantu?
Tunggu dulu, bukan sesuatu atau hantu yang menabrak pintu, melainkan seseorang.