Euforia

Varenyni
Chapter #17

16. Dia Sakit?

“Jangan berlari-lari hanya untuk menghampiriku, aku yang akan menghampirimu.”

***

Lucy memutar lagu di laptopnya, lagu Darkside oleh Alan Walker, entah kenapa dia menyukai lagu itu, mungkin karena pertama kali dia mendengar lagu itu dinyanyikan Zidan, jadi ia menyukainya. Kenapa Zidan lagi? Lucy harus bisa menghilangkan semua kenangan itu.

Tanpa sadar gadis itu bersenandung mengikuti irama lagu itu meski tidak bisa menghafal sepenuhnya.

Fall in-to the darksi—”

“Lucy! Katamu tadi El akan ke sini, di mana dia sekarang?” Mama menyahut dari dapur, ia menyembulkan kepala.

“Sebentar lagi, Ma.” Lucy mematikan lagu di laptopnya.

Suara bel terdengar dari luar.

“Itu dia datang. Aku akan membukakan pintu.” Lucy meletakkan laptop di meja ruang tamu, berlari-lari kecil menghampiri pintu dan membuka.

Mungkin ceroboh menjadi sifat bawaannya sejak lahir, saat Lucy membuka pintu, hampir saja dia terpeleset jika El tidak dengan sigap menangkap Lucy.

“Sudah kubilang, Lucy, jangan berlari-lari hanya untuk menghampiriku, aku yang akan menghampirimu,” ujar El.

Lucy nyengir. “Sudah bawaan. Entah kenapa saat aku ingin menemuimu kakiku secara otomatis berlari, padahal kau tidak akan menjauh. Aneh sekali.”

“Itu karena pesona seorang El Fahmi.” Dia membusungkan dada, mencoba membanggakan diri.

Lucy memukul pelan bahu El. “Ayo masuk, Mama menunggumu, sepertinya dia yang paling merindukanmu.”

“Tante Tina? Merindukanku? Dia mengatakannya secara langsung? Itu mustahil.” El menggelengkan kepala.

Mama datang dengan membawa makanan dan minuman yang sudah disiapkannya dari tadi, lantas menaruhnya di meja, dia benar-benar tuan rumah yang baik. 

“Kau sudah datang,” ucapnya.

El tersenyum canggung. “Iya, Tante.”

El mencium tangan Mama, lantas duduk saat Mama menyuruhnya duduk. Kenapa dia menjadi secanggung ini di hadapan mamanya Lucy? Bukankah saat kecil dia dekat sekali dengan mamanya Lucy seperti anaknya sendiri.

El berdehem untuk menghilangkan kecanggungan. “Apa Tante merindukanku?”

Mama menggeleng. “Siapa yang mengatakannya?”

El refleks menunjuk Lucy yang sedang minum hingga dia tidak sadar telah menyemburkan minumannya.

“Mama memang tidak bilang, tapi dari tadi Mama menanyakan terus kabar El, lalu tentang kenapa dia terlambat datang ke sini.” Lucy tersenyum penuh kemenangan saat dilihatnya wajah Mama tampak seperti orang yang tertangkap basah.

“Terserah kalian sajalah. Mama mau istirahat dulu.” Mama menoleh pada El. “Jika kau lelah, El, kau bisa menginap malam ini, rumah ini kan seperti rumahmu sendiri.”

“Baik, Tante.” El mengangguk.

Mama meninggalkan El dan Lucy di ruang tamu, suara langkah kakinya terdengar mengema dan terkesan buru-buru.

Lucy tahu, Mama tidak akan pernah mengungkapkan secara langsung bahwa dia rindu seserang. Pernah sekali Mama cerita masa lalunya dengan papanya Lucy saat mereka masih muda, mereka satu sekolah, Mama selalu mencari alasan untuk datang ke kelas Papa, entah itu disuruh guru, pinjam pena atau cara apapun selalu Mama lakukan agar bisa melihat wajah Papa. Kata papanya Lucy, kalau Mama itu sebenarnya rindu tapi tidak mau mengatakannya. Mama tidak suka mengungkapkan perasaannya.

“Sekarang ceritakan padaku tentang Zidan,” ujar Lucy.

El membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegak. Dia menarik napas dalam seperti berusaha melepaskan beban berat yang ditanggungnya.

El mengambil dompet di kantung celananya, mengeluarkan selembar foto yang tampak usang, lantas menyerahkannya pada Lucy.

Lucy menerima foto itu, di foto itu terlihat dua anak laki-laki yang seumuran anak TK, memakai seragam TK, mereka tersenyum menghadap kamera. Sepertinya Lucy pernah melihat foto itu.

“Bukankah foto ini sama seperti foto di rumah Zidan? Jadi anak kecil ini kau dan Zidan?” Lucy menunjuk foto di tangannya.

Lihat selengkapnya