Euforia

Varenyni
Chapter #18

17. Kamar 434

“Apakah kerinduan itu sebuah dosa dan kesalahan? Karena setiap kali aku rindu, hatiku merasa tidak enak, seperti perasaan saat kau tidak sengaja membunuh orang. Gelisah dan gundah gulana.”

***

Lucy mengenggam erat kertas pemberian Ali yang bertuliskan alamat tempat Zidan dirawat. Tadi malam dia bersusah payah membujuk papanya untuk mengantarnya sebelum beliau bekerja, dengan dalih membesuk teman.

Lucy memandang kertas yang sudah kusut itu, memeriksa sekali lagi nomor kamar yang tertera di sana, dia takut kalau salah masuk kamar orang lain, mau ditaruh mana mukanya?

“Nomor 434,” gumamnya lantas dia mendongakkan kepala, nomor yang sama juga tertera di atas pintu ruang inap.

Tangan Lucy memegang kenop pintu, memutarnya. 

Pintu itu terbuka. Padahal Lucy yakin, dia belum mendorong pintu itu, seperti ada seseorang yang menarik pintu dari dalam. Atau mungkin teknologi di rumah sakit itu sudah canggih? Hanya dengan menyentuh kenop, pintu bisa terbuka sendiri?

“Lucy? Kau ... kenapa di sini?” sebuah suara menyahutnya dari dalam membuat lamunan Lucy buyar.

Lucy mengangkat kepala. “Ali?”

Di ambang pintu terlihat Ali dengan tangan kiri memegang sekantung plastik hitam besar, di antara telinga dan bahunya mengapit ponsel berwarna silver, sedangkan tangan kanannya memegang kenop pintu—yang mematahkan semua hipotesis Lucy tentang kemajuan teknologi di rumah sakit itu.

“Kau berbicara dengan siapa?” Suara Violet terdengar dari telepon.

“Dengan Lucy,” jawab Ali dengan seseorang di telepon.

“Kau masuklah dulu, Bundanya sedang keluar jadi aku menjaganya. Aku akan keluar sebentar untuk membuang sampah.” Ali mengangkat plastik hitam di tangan kirinya lantas memberi jalan untuk Lucy masuk.

Lucy mengangguk dan berterima kasih.

“Ya, aku masih di sini, Violet.”

Suara Ali kian hilang saat dia menjauhi kamar tempat Zidan dirawat. Lucy menutup kamar itu.

Kalau saja tadi tidak ada Ali, mungkin Lucy akan mengira salah kamar, karena Lucy mungkin tidak akan mengenali Zidan karena berbulan-bulan tidak bertemu, terlebih lagi Zidan dalam keadaan yang tidak seperti biasanya—rambut hitam yang menutupi dahi, wajah secerah rembulan saat tersenyum, badan tegap laksana tentara-tentara. 

Kini Zidan terbaring di atas ranjang, dengan selang infus yang menusuk tangannya, wajah pucat, dan ada perban yang melilit kepalanya, juga beberapa buah-buahan ada di nakas. Dia jauh dari kata baik-baik saja.

Lucy tidak tahu sejak kapan air matanya meleleh. Dia duduk di kursi dekat Zidan, memandang wajah pemuda yang pernah dan masih membuatnya jatuh hati.

“Setelah kau menyakitiku dengan melupakanku, kenapa kau menyakitiku dengan tidak sadarkan diri? Apa salahku, Zidan? Katakanlah!” Lucy menangis.

“Kenapa nasib begitu kejam padamu? Kenapa?”

Walau Lucy tahu, Zidan tidak akan mendengar atau menyahut pertanyaannya, dia tetap berujar seolah-olah Zidan duduk di hadapannya, karena dengan begitu, beban di hatinya akan sedikit berkurang dengan mengutarakan semuanya.

“Berjanjilah padaku kalau kau akan sadar.” Lucy menyentuh tangan Zidan. “Kau belum memaafkan kesalahanku. Kau berjanji akan memaafkanku di tempat kita pertama bertemu. Di Cafetaria itu, aku akan menunggumu datanglah.”

Lucy menyeka pipinya dengan tangan, masih terisak-isak. Matanya tidak boleh merah dan membengkak, karena Ali dan bundanya Zidan pasti akan datang setelah ini. Dia tidak mau terlihat lemah di hadapan mereka berdua.

“Kenapa aku sangat cenggeng? Memalukan sekali,” gumam Lucy.

Lihat selengkapnya