Dua tahun yang lalu, saat Lucy sudah lulus di sekolah menengah pertamanya.
“Bagaimana tes masuk ke SMA favorit-mu? Apakah diterima?” Lelaki itu menopang dagu dengan tangannya di atas meja Cafetaria, penasaran.
Lucy memasukkan tiga potong steak kentang ke dalam mulut, mengancungkan dua jempol sebagai jawaban.
Lelaki itu menaikkan kedua alisnya, kira-kira bertanya seperti ini: “Apa maksudnya?”
Tangan kanan gadis itu terangkat, memberi kode untuk menunggu sebentar, mulutnya masih penuh. Dia segera menelan steaknya, lantas menyesap sedikit cappucino yang dipesannya.
“Kau ini tidak sabaran sekali, setidaknya biarkan dulu aku menikmati steak ini.” Lucy mendengus.
Dia hanya menyegir tidak berdosa. “Bagaimana?”
“Aku senang sekali. Kautahu, tes masuknya sangat sulit, apalagi di bagian wawancara, aku sempat berpikir tidak diterima di SMA itu, ternyata pikiranku salah.” Lucy tersenyum bahagia.
“Baguslah, setidaknya kau tidak datang ke rumahku terus-menerus, menangis dan menghabiskan tisuku.” Dia tertawa keras tanpa memedulikan tatapan terganggu dari orang-orang.
“Jangan keras-keras, ini bukan rumahmu, El. Mereka melihat kita,” bisik Lucy sembari melirik para pengunjung kafe.
“Tidak apa-apa, mereka punya mata jadi wajarlah kalau mereka melihat kita,” jawabnya ngasal, walau Lucy akui memang benar.
Rasanya ingin sekali Lucy menimpuk pemuda itu dengan buku yang baru saja dibelinya.
Lelaki yang selalu membuatnya tersenyum itu tidak lain adalah teman masa kecilnya yang sekaligus merangkap menjadi tetangganya. Nama lengkapnya El Fahmi, mereka berteman sejak El pindah di desa Lucy, saat mereka masih kelas lima SD.
Waktu itu El tidak seceria ini, dia sangat pemurung, pendiam, seperti ada beban berat yang ditanggungnya di umur sekecil itu. Dan image jelek itu sama sekali tidak pantas untuknya.
Lucy tidak sebegitu ingat bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja mereka menjadi dekat, sejak SD sampai SMP mereka satu sekolah. Dan Lucy berhasil menghapus image El yang dulu. Kini El menjadi lelaki yang ceria, banyak omong, dan supel.
“Tahun ajaran baru dimulai satu minggu lagi, eh?” tanya Lucy.
El dengan mulut penuh hanya bisa mengangguk. Dia ingin mengatakan sesuatu, terlihat jelas dengan cepat dia berusaha mengunyah dan menelan makanannya.
“Berarti ..., waktu kita hanya tersisa satu minggu ini?” tanya Lucy skeptis.
“Benar. Kalau kau mendapat teman baru di SMA-mu nanti, jangan melupakan teman masa kecilmu ini, Lucy. Kalau tidak aku akan menuntutmu nanti.” Dia tertawa garing.
El pernah cerita, kalau lulus SMA nanti, dia akan kuliah dan mengambil jurusan hukum untuk mewujudkan cita-citanya menjadi jaksa.
Lucy menghembuskan napas perlahan. “Tidak bisakah kau tetap di kota ini, El?”
El menggeleng. “Ini karena Papa dipindah-tugaskan. Dulu, saat aku pindah ke sini lima tahun yang lalu juga karena Papa dipindah-tugaskan. Beruntung dalam masa lima tahun itu atasannya tidak mengirimnya keluar kota, tapi dia malah mengirimnya sekarang.”
“Hei, kenapa wajahmu murung begitu? Kita tidak akan berpisah selamanya. Jarak tidak dapat memutus tali pertemanan, dia mungkin hanya merenggangkan, maka dari itu kita harus sesering mungkin mengencangkan tali itu,” ucapnya.
“Ayolah El, aku tidak mengerti maksudmu,” ujar Lucy.
“Aku akan megencangkan tali persahabatan kita dengan terus berkunjung ke sini saat liburan, bagaimana?”
“Kau janji?” tanya gadis itu, memastikan.
Karena tidak diragukan lagi, dia orang yang sering mengingkari janjinya. Contohnya saja saat mereka masih kelas delapan, dia janji akan membelikan Lucy pena, tapi dia lupa, lalu saat dia bilang akan mengembalikan buku Lucy yang dia pinjam tepat pada waktunya, dia juga lupa.
“Iya aku janji, aku tidak akan lupa seperti janji-janjiku sebelumnya.” Dia mengangguk mantap.