Mentari perlahan merangkak keluar dari persembunyiannya, cahayanya menerobos masuk jendela aula, menyapa makhluk-makhluk di pagi yang dingin ini. Lucy dan teman-teman barunya—baik yang sudah kenal maupun yang belum kenal—sekarang sudah berada di sekolah. Kenapa mereka berangkat sekolah pagi-pagi? Alasannya simpel, selaku murid yang masih dalam masa orientasi, mereka diharuskan berangkat pagi-pagi sekali, kalau tidak mereka akan dikenakan hukuman.
Lucy mengedarkan pandangannya ke sekeliling, salah satu gadis dari Kelompok Bumi menguap bosan karena kakak kelas yang sedari tadi berceloteh panjang lebar di depan tentang visi dan misi sekolah yang sangat membosankan. Di sebelah Kelompok Bumi, ada Kelompok Venus, sebagian besar dari mereka lebih memilih berbicara dengan teman SMP-nya sendiri—terlihat dari seragam yang mereka kenakan sama—daripada mendengarkan ceramah kakak kelas. Mungkin hanya segelintir dari mereka yang benar-benar mendengarkan.
“Misi selanjutnya yaitu mewujudkan siswa yang berahlak dan berbudi pekerti baik. Percuma kalau dia pintar tapi ahlaknya jelek, bagaikan ....”
Lucy tidak terlalu mendengarkan kelanjutan kalimat yang diucapkan kakak kelas yang berbicara di depan. Dia salut padanya, kakak itu gadis yang berani berbicara di depan, semangatnya mengebu-ngebu bagai pejuang kemerdekaan, tidak mengindahkan respons mereka yang hanya menjawab sekadarnya dengan malas, seperti; “Ya.”
Papan nama di barisan depan tempat Lucy duduk bertuliskan “Merkurius” dengan huruf kapital sebagai identitas bahwa mereka Kelompok Merkuris, planet pertama dalam sistem tata surya.
Lucy yakin, jika seandainya El tidak pindah ke luar kota dan dia satu sekolah dengannya, Lucy tidak akan dilanda kesepian seperti ini, biasanya El yang menghibur dan mengajaknya berbicara ketika gadis itu sedang bosan. Tapi mau bagaimana lagi? El sudah berangkat sehari setelah mereka melakukan salam perpisahan di Cafetaria waktu itu. Untuk beberapa bulan ke depan Lucy tidak akan bertemu dengan sesosok perhatian yang dianggapnya kakak itu.
Lucy menolehkan kepala ke samping dan tidak sengaja bertemu pandang dengan seorang gadis yang sedari tadi duduk di sampingnya, mata bulatnya mengerjab, kedua sudut bibirnya melengkung ke atas. Dengan senang hati Lucy membalas senyum gadis itu, mereka sama-sama canggung, malu untuk memulai percakapan, walau untuk sekadar basa-basi seperti mempertanyakan nama atau kabar.
Sepuluh menit kemudian atmosfer kecanggungan terasa semakin kental dan membuat perasaan Lucy tidak enak seperti dikelilingi kabut hitam.
Ayolah! Apa susahnya berkenalan dengan orang baru? Tinggal menanyakan nama untuk basa-basi. Kau ini penakut sekali, batinnya memaki.
Sejak dulu Lucy memang sangat sukar untuk berkenalan dengan orang baru, bahkan saat ia kelas lima SD, mamanya-lah yang memaksa agar Lucy mau berteman dengan El, kalau bukan karena mamanya, mungkin Lucy tidak akan berteman baik dengan El—mungkin hanya sekadar kenal.
Lucy merasa dia penakut sekali, ingin sekali dia melenyapkan sifat buruknya itu. Baiklah, sekolah baru, kepribadian juga harus baru, sifat buruknya harus ia lenyapkan. Lucy akan mengubah rasa takutnya untuk mengenal orang lain.
Hembusan napas pelan terdengar pelan dari mulut Lucy.
Hitungan ke sepuluh ..., aku akan mengajaknya berkenalan, batinnya.
Lucy mulai menghitung dalam hati. Enam ..., tujuh ..., delapan.
Saraf sensoriknya bekerja tanpa disuruh sehingga secara otomatis wajahnya menoleh ke sebelah gadis bermata bulat itu saat merasakan sebuah tangan menjawil lengannya.
“Ya?” tanya Lucy dengan nada yang ramah.
Dia menjulurkan tangan kanannya. “Perkenalkan, namaku Violet, untuk lebih dekatnya panggil Vio saja.”
“Eh?” Lucy menggaruk belakang kepala dengan kikuk, lantas segera membalas jabatan tangan gadis dengan mata bulat itu.
“Namaku Lucy, salam kenal.” Lucy membalas senyumnya, lalu kami kembali dengan kesibukan masing-masing—berperang dengan pikiran masing-masing.
Hanya sebatas perkenalan klasik, Lucy tidak mempunyai segudang topik untuk dibicarakan sebagai bahan obrolan. Anehnya, saat dengan El, ia seperti seorang wartawan yang banyak tanya ini-itu, banyak topik juga yang mereka bicarakan. Satu yang Lucy sesalkan, seharusnya ia yang memulai untuk mengajaknya berkenalan.
“Kelompok Merkurius!”
Terdengar suara kakak pembawa acara melalui microphone dengan suara menggelegar laksana membakar semangat peserta MOS pada pagi ini.
“Itulah kami!” balas kelompoknya Lucy serentak dan penuh semangat mengeluarkan jargon yang telah mereka sepakati berikutnya.
“Kelompok Saturnus!”
“Kamilah yang terbaik!” seru Kelompok Saturnus dengan keras sembari mengacungkan jempol di udara, sangat berenegi.
“Baiklah, untuk mempersingkat waktu, silahkan didiskusikan siapa ketua dan wakil kelompok masing-masing. Setelah itu, kita mengadakan permainan untuk melihat seberapa kompaknya kalian,” ucap kakak pembawa acara.
“Permainan?” gumam Lucy.
Tanpa banyak bicara, masing-masing kelompok segera membentuk lingkaran. Semuanya hanya saling tatap, mau bagaimana lagi? Kenal juga tidak, masing-masing dari mereka tidak mengetahui siapa yang pantas menjadi ketua dan wakil di sini.
“Ketuanya harus laki-laki karena seorang laki-laki adalah imam.” Gadis berkacamata di sebelah Violet mengutarakan pendapatnya.
“Kenapa harus laki-laki? Lihatlah presiden ke lima kita, dia perempuan. Perempuan juga bisa menjadi pemimpin,” balas salah satu laki-laki, tidak mau kalah, lebih tepatnya kaumnya keberatan menerima tanggung jawab besar sebagai ketua.
“Tapi kebanyakan pemimpin itu laki-laki.”
“Tidak semua, ‘kan? Kepala sekolah juga ada yang perempuan. Hokage di animasi Naruto juga ada yang perempuan, itu yang namanya Tsunade.”