Euforia

Varenyni
Chapter #4

3. Saling Percaya

Lucy tidak tahu mau dibawa ke mana Kelompok Merkurius, setelah mendengar aba-aba start dari Kak Liya di aula tadi, mereka sama sekali tidak mendengar suara apapun kecuali langkah kaki mereka sendiri, bahkan gadis berkacamata yang sebelumnya heboh sendiri pun kini terdiam, semuanya seperti membisu dalam perjalanan yang tiada ujung ini.

Entah sudah berapa kelokan yang mereka lewati, naik-turun tangga tiada henti. Lucy berusaha keras untuk membujuk kakinya agar terus berjalan, bahkan matanya sudah merasa panas dan menggeluarkan air mata karena terlalu lama tertutupi kain. 

Lucy mengenggam erat bahu Zidan, karena dia tiba-tiba mempercepat langkahnya. Mungkin Bastian menyuruhnya bergegas, Lucy tahu Bastian orang yang tidak sabaran.

Refleks Lucy menghentikan langkah ketika Zidan mendadak menghentikan langkahnya, dia sepertinya berbicara dengan seseorang.

“Kau harus melewatinya.” Itu suara Bastian.

“Tapi bagaimana dengan mereka? Mata mereka tertutup, bagaimana mereka melewati jalan sempit ini?” tanya Zidan cemas, terdengar dari suaranya.

Bastian tertawa. “Kau ketua yang perhatian ya? Tenang saja, jalan itu tidak berbahaya, kalian hanya perlu melewati jalan itu dan sampai.”

Terdengar kasak-kusuk dari teman-teman yang berada di belakang, mereka sepertinya ragu untuk maju, bahkan ketua sendiri ragu untuk melangkah, pikir mereka.

“Apa yang harus kulakukan?” gumam Lucy cemas.

“Yang harus kaulakukan hanya percaya padaku, Lucy. Jangan khawatir,” bisik Zidan, lantas dia tersenyum tulus, walau dia tahu Lucy tidak melihat senyumnya.

Lucy mengangguk.

Zidan menghela napas berat. Aku harus segera mengakhiri permainan bodoh ini. apa-apaan permainan penipuan ini, aku tidak suka! Tidak seru! batin Zidan bersungut-sungut. 

“Teman-teman! Kita harus terus maju agar bisa menyelesaikan permainan ini. Kita sudah berada di stage ini dengan susah payah, kata Kak Bastian jalan ini aman!” seru Zidan kepada teman-teman.

“Bagaimana kalau aku jatuh dan tidak sadarkan diri?” gumam si gadis kacamata di belakang Lucy, lantas dia beristigfar, menyadari sesuatu. “Aku tidak boleh berburuk sangka.”

Dan masih banyak lagi keluhan yang mereka lontarkan, Lucy tidak terlalu mendengarkan. Ia sibuk berperang sendiri dengan pikirannya. Tidak mungkin ‘kan pihak sekolah membuat bahaya calon murid-muridnya, mereka tidak sekejam itu, kan?

“Harap tenang Kelompok Merkurius! Mau bagaimana pun kalian harus menuruti masinis kalian, dia maju ya kalian maju. Bukankah itu aturan awal permainan ini? Ingat! Kalian harus saling percaya.” Intonasi Bastian terdengar meninggi, dia memang orang yang temperamental.

Mereka terdiam seribu bahasa, Lucy tidak pernah tahu kalau Bastian bisa marah, apa karena ia yang tidak terlalu mengenalnya, atau hanya karena skenario dari ketua OSIS untuk bersikap keras kepada peserta MOS agar mereka patuh? Seperti yang dilakukannya saat menjadi pengurus OSIS di SMP-nya dulu.

“Akan kuceritakan keadaan di depan, di sana ada sebuah jembatan rapuh dengan lebar kira-kira setengah meter. Untuk melewati sana kita harus serba hati-hati dan jangan lupa untuk berpegangan pada tali jembatan agar tubuh kalian tidak terjatuh. Yang terpenting, jangan berlari saat melewati jembatan itu,” ujar Zidan.

“Bagaimana kami bisa berpegangan pada tali? Tangan kami harus memegang pundak teman yang di depan dan mata kami tertutup?” tanya salah satu lelaki, Lucy tidak tahu suara siapa itu.

“Salah satu tangan kalian memegangi pundak teman, dan satunya memegangi tali jembatan. Kalau soal mata kalian tertutup, itulah kesenangan dari permainan ini.” Bastian yang menjawab, suaranya terdengar lebih santai.

Lucy menghela napas dalam, baiklah mereka akan mengakhiri stage ini bersama-sama, tidak peduli apa yang akan terjadi nantinya.

Mereka melangkah perlahan tanpa perlu diaba-aba, mungkin hendak protes pun percuma karena peraturan dari sananya begini. Mau bagaimana lagi?

Permainan ini tidak seseru yang kupikirkan, aku ingin segera menyelesaikan permainan ini dan pulang, kata Lucy dalam hati.

Krieet!

Lucy mendengar suara kayu jembatan yang berdecit ketika kakinya berpijak, jika saja Lucy mempunyai cukup keberanian untuk menghentakkan kakinya, ia yakin jembatan kayu ini pasti akan patah dan kelompoknya akan jatuh—kalau saja dia sudah bosan hidup, dan tentu Lucy akan melakukannya. 

Kaki gadis itu gemetar, tubuhnya terasa teriris setiap kali melangkahkan kaki, tulang terasa ngilu. Takut bila terjatuh—walau Lucy tidak tahu apa yang ada di bawah sana, matanya tertutup. Tangan kanannya mencari tali jembatan yang dikatakan Zidan tadi, dan sialnya ia tidak bisa menemukan tali itu alhasil dia hanya memegangi bahu Zidan dan berharap semoga mereka cepat tiba di ujung jembatan.

“Ah.” Lucy menghela napas lega saat Bastian mengatakan mereka telah melewati jembatan itu, selanjutnya Bastian membimbing mereka ke suatu ruangan yang bersuhu dingin, lantas suara pintu ditutup saat Zidan menghentikan langkahnya.

“Baiklah, kalian boleh membuka penutup mata kalian!” perintah Bastian.

Tanpa banyak bicara mereka segera membuka kain yang sedari tadi membelit kepala, rasanya seperti seorang yang buta dan tiba-tiba diberi keajaiban agar bisa melihat dunia. Terasa bebas. 

Lihat selengkapnya