Tiga hari berlalu dengan cepat tanpa terasa MOS sudah berakhir, walaupun begitu, Lucy tidak bisa begitu saja melupakan kejadian-kejadian yang menyenangkan bersama dengan Kelompok Merkurius—mungkin dengan ketuanya saja. Meskipun singkat, dia merasa seperti mendapat keluarga baru. Lucy berharap agar dia bisa bertemu dengan ketuanya lagi—Zidan. Bahkan dengan memikirkannya saja membuat semburat merah di pipi Lucy.
Lucy memperhatikan sekitarnya, kelasnya masih sepi karena ini hari pertama sekolahnya, dia memilih berangkat lebih pagi untuk memilih tempat duduk dan dia terpilih menjadi anggota kelas sepuluh IPA 3. Dia memilih tempat duduk nomor dua dari depan, sekarang Lucy sedang duduk manis dengan sebuah buku tulis yang penuh dengan coretan ide-ide yang bersarang di kepalanya.
Lucy dengan tangannya yang lincah mulai menulis beberapa kata yang dirangkainya dengan rapi, saat sunyi seperti ini merupakan keberuntungan baginya, karena beribu-ribu ide mulai menelusup masuk otaknya, hingga Lucy kewalahan harus mulai menulis yang mana.
Sejak SMP dia memang suka menulis cerita, saat menulis Lucy merasa ... bebas. Dia bisa melakukan apa saja kepada tokoh-tokohnya, dia merasa bebas dan bahagia saat menulis. Laksana pelukis yang bahagia saat melukis, bagaikan penyanyi yang bahagia saat bernyanyi, seperti penari yang bahagia saat menari, itulah yang Lucy rasakan saat dia menulis. Menulis seperti euforia baginya.
Bruk!
Lucy tersentak kaget ketika pintu tiba-tiba terbuka dengan keras sampai-sampai pena biru pemberian El jatuh.
“Ah, maafkan aku,” ujar seseorang di ambang pintu—pelaku yang mengagetkan Lucy.
Lucy yang sedang mengambil penanya mendongak demi mendengar suara yang familier itu. Ternyata mereka satu kelas.
“Lucy? Kau kah itu?” tanya gadis yang berada di ambang pintu.
“Sepertinya begitu. Kau juga, Violet?” tanya Lucy bersemangat.
Violet dan Lucy berteriak kegirangan. Lucy melambaikan tangan agar Violet duduk di sebelahnya.
“Kita akan menjadi sahabat dalam waktu dekat,” ujar Violet, Lucy mengangguk.
Lucy tidak tahu bagaimana dia cepat akrab dengan Violet, mungkin karena kepribadian Violet yang menyenangkan dan supel.
Violet menanyakan banyak hal pada Lucy, mulai dari kesukaannya, hobinya, hingga ia nakal bertanya apakah Lucy mempunyai pacar. Lucy mendelik saat itu, lalu dia menggeleng keras.
Violet tertawa melihat ekspresi Lucy. “Kau orang yang lucu ya, aku pikir kau orang yang dingin. Saat aku pertama kali melihatmu, kau tidak banyak bicara dan hanya memperhatikan sekitar.”
“Oh begitu. Aku bukan orang yang seperti itu, tenang saja. Tapi aku memang suka memperhatikan sekitar, sebagai calon penulis, aku harus memperhatikan sekitarku, mungkin saja dapat ide yang menarik. Dan El tidak suka kebiasaanku itu,” ucap Lucy.
“Kau ingin menjadi penulis!? Waw, hebat. Aku jarang menjumpai anak muda yang bercita-cita seperti itu. Aku harap cita-cita bisa terwujud, Kawan.” Violet menyemangati.
Lucy tersenyum. Mengangguk, semoga saja terwujud.
“Ngomong-ngomong, siapa El? Sedari tadi kau menyebut namanya saat aku bertanya tentangmu. Sepertinya orang itu berperan besar dalam hidupmu. Jangan-jangan dia kekasihmu.” Violet mencoba mengoda Lucy.
“Ah, tidak tidak. Dia hanya temanku, teman sejak kecil. Aku lebih menganggapnya sebagai kakakku karena kepeduliannya kepadaku begitu besar.”
“Aku tidak melihat kejujuran itu di matamu.” Violet menyelidik, lantas dia tertawa saat Lucy memasang wajah menggembung kesal.
Lucy lebih sering menjawab pertanyaan Violet daripada dia menanyai. Percakapan tidak penting itu berlanjut sampai beberapa menit ke depan sampai murid-murid berdatangan.
Barulah Lucy dan Violet terdiam saat mereka melihat banyak dari Kelompok Merkurius yang sekelas dengan mereka, Lucy terkejut. Ada Ila, si tinggi yang egois—sampai sekarang Lucy tidak tahu nama lelaki itu, Ali dan beberapa anggota Kelompok Merkurius lagi yang tidak terlalu ia kenal. Lucy berharap orang itu juga sekelas dengannya.
Dia berdoa dalam hati agar permintaan kecilnya itu terkabul.
***
Semangatnya menjadi patah begitu saja saat melihat guru sudah memasuki kelas. Artinya dia tidak sekelas dengan Zidan, karena dia rasa semua murid di kelasnya sudah datang. Tidak mungkin juga Zidan datang terlambat ‘kan? Mana ada anak yang terlambat datang saat hari pertamanya sekolah? Bukankah semua murid datang pagi-pagi saat hari pertama sekolah agar mendapatkan tempat duduk yang dia inginkan? Atau mungkin hanya Lucy saja yang berpikiran demikian?
Saat Lucy mulai putus asa, dia mendengar pintu dibuka dengan tiba-tiba, walau tidak keras tetapi cukup membuatnya terkejut. Di sana berdirilah seorang pemuda bersurai hitam dengan iris sepekat malamnya, napasnya terengah-engah hingga Lucy rasa bisa mendengarnya. Mungkin saja pemuda itu telah lari maraton sebelum berangkat sekolah.
Demi apapun, Lucy sangat senang dengan kedatangan pemuda itu yang tidak lain adalah Zidan, tanpa sadar sudut bibirnya terangkat ke atas. Mungkin dia bisa menambahkan Zidan ke daftar penyebab euforianya.
Guru mempersilahkan Zidan masuk, meskipun begitu dia tidak akan lolos dari pertanyaan guru itu.