Hari-hari sibuk sudah dimulai, seperti siswa pada umumnya, Lucy mengerjakan PR, belajar, dan mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang diadakan di sekolah.
Seperti pada hari ini, semua siswa diberi angket untuk memilih ekstrakulikuler yang akan diikuti.
Lucy menerima kertas yang diberikan Bu Leni, dia mengucapkan terima kasih. Setelah semua murid mendapatkan angket, Bu Leni mulai menjelaskan.
“Di kertas itu, kalian bisa memilih ekstrakulikuler yang kalian minati. Kalian boleh memilihnya minimal satu, maksimalnya terserah kemampuan kalian, asalkan harinya tidak berbenturan dengan eskul yang kalian ikuti lainnya.” Bu Leni terdiam sebentar. “Kalian tulis nama dan kelas kalian di angket itu, lalu tulis eskul yang kalian ikuti.”
Lucy membaca satu per satu ekstrakulikuler yang tertera di kertas sembari telinganya fokus mendengarkan penjelasan Bu Leni di depan.
“Kalian bisa mengumpulkannya saat istirahat di ketua kelas,” lanjut Bu Leni.
Bu Leni mendekati Siyam. “Ibu percayakan angket teman-teman kepadamu, nanti serahkan di meja Ibu.”
Siyam, selaku ketua kelas itu mengangguk. “Baik, Bu.”
Lucy menggelengkan kepala, dia tidak tahu bagaimana bisa Siyam terpilih menjadi ketua kelas. Saat pemilihan ketua kelas, dia bisa menyakinkan semua orang bahwa dia akan sanggup menerima tanggung jawab sebagai ketua. Siyam harus bisa menjaga perkataannya agar Lucy tidak berburuk sangka padanya.
Memilih tidak terlalu memikirkan tentang Siyam, Lucy dengan percaya diri menuliskan ekstrakulikuler yang akan dia ikuti. Menulis. Senyumnya mengembang, dia tidak tahu sekolahnya menyediakan ekstra menulis. Lucy akan menjadi penulis yang hebat seperti Hendra Tan dan Emilia P.
“Sudah selesai? Kauikut ekstra apa, Vio?” tanya Lucy saat melihat Violet memasukkan pena ke tempat pensil.
“Marching band,” jawabnya pendek.
“Kau yakin?” tanya Lucy.
Violet tertawa kecil. “Kenapa suaramu terdengar ragu?”
Lucy menggeleng. “Bukan begitu. Apa kau yakin mengikuti marching band? Kau harus bekerja keras, karena marching band sangat melelahkan. Waktu SMP aku pernah mengikuti ekstra itu, dan hasilnya ..., sangat melelahkan, walaupun menyenangkan.”
Violet tersenyum sekilas. “Tidak apa-apa, aku ingin mencoba.”
***
Dahi Zidan berkerut, angket di tangannya sedari tadi kosong, belum diisi. Baik nama siswa ataupun ekstrakulikuler yang akan dia ikuti. Ditaruhnya kertas itu di mejanya, lantas mengacak rambut frustasi.
“Hei, sudah selesai, Kawan?” tanya Ali, teman sebangkunya.
Zidan menggeleng, menatap melas.
“Kenapa kau lama sekali? Lihatlah aku, lelaki sejati, tidak perlu lama memilih eskul.” Ali tertawa.
Zidan meliriknya sekilas. “Ini suatu hal yang berbeda, Ali. Aku tahu kau pasti memilih futsal, karena futsal olahraga kesukaanmu. Tapi yang kusuka banyak sekali di sini.”
“Apa aku harus mengikuti semuanya?” tanya Zidan polos.
Ali menggeleng. “Ayolah, Zidan, jangan kau mulai lagi, oke? Jangan mengada-ada.”
Zidan hanya bergumam sebagai jawaban. Dia mengambil pulpennya, menuliskan nama dan kelasnya di angket. Lalu menulis ekstrakulikuler yang akan dia ikuti.
“Aku tinggal menulis, kan? Kenapa hal ini jadi pekerjaan sulit?” gumamnya sembari mengoreskan pena di kertas. “Selesai. Aku memilih dua.”
Siyam berjalan ke depan, berseru, “Ayo teman-teman! Kumpulkan ke depan angket kalian!”
Zidan menyerahkan angketnya pada Ali. Teman sebangkunya itu membaca sekilas ekstra yang diikuti Zidan. “Melukis, band. Oke-oke.”
Ali duduk kembali setelah menyerahkan angket miliknya dan milik Zidan. Siyam di depan berkoar-koar, bertanya apakah semua sudah menyerahkan angketnya, dia tidak mau dimarahin Bu Leni hanya karena angketnya tidak lengkap.
Ali terkekeh, menyikut Zidan di sebelahnya. “Dia memang cocok jadi ketua, terlepas dari sifatnya yang suka menyuruh, dia bertanggung jawab.”
Zidan mengangguk.
Ali menoleh, Zidan hari ini tampak berbeda, dia tidak banyak bicara seperti biasanya, lebih banyak diam. Sebagai teman sejak SMP, Ali tahu kalau tabiat Zidan seperti itu, tandanya dia tidak mau diganggu, pasti ada yang menganjal pikirannya. Baiklah, Ali tidak akan menganggunya.
“Mau ke kantin, Kawan?” tanya Ali saat jam istirahat.
Zidan menggeleng.
“Kenapa? Puasa? Sakit gigi?” Ali tidak kehabisan ide untuk membujuk Zidan agar berbicara satu-dua kata.
Sebagai jawaban, Zidan hanya menggeleng.
Ali menghela napas, Zidan memang tidak mau diganggu. Ali melangkahkan kaki, meninggalkan kelas. Mungkin keadaan hatinya sedang buruk, Ali yakin, pasti bukan karena masalah penyakitnya.
***
Zidan membuka buku sketsanya, mengambil pensilnya. Entah kenapa sedari tadi dia ingin sekali menggambar, tangannya terasa gatal kalau tidak segera menemui ‘kekasihnya’ itu. Dia merasa bersalah karena mengabaikan Ali hari ini. Bukan karena dia marah pada Ali atau lainnya, tetapi saat dia berkeinginan untuk mengambar, dia akan berpikir objek apa yang akan dia gambar, sampai dapat, dan seorang pun tidak dapat menganggu konsentrasinya.