Lucy menatap ke jendela kelas, matanya menatap pucuk dedaunan yang tertiup angin. Udara musim kemarau terasa menenangkan jiwanya, setidaknya dia bisa tenang barang sejenak dari penatnya pelajaran, remidian dan hasil ujian kenaikan kelas yang belum lama ini telah diberitahukan masing-masing guru.
Entah kenapa Lucy merasa semuanya berjalan terlalu cepat, padahal dia baru saja merasa masih lulusan SMP, lalu tiba-tiba dia sudah SMA, kelas sepuluh, dan beberapa minggu lagi dia akan melepas gelar kelas sepuluhnya dan menjadi kelas sebelas. Semua terasa seperti angin lalu, begitu cepat.
Gadis berumur lima belas tahun itu menghela napas perlahan, selalu saja begini, dia selalu datang lebih awal dari teman-teman lainnya—karena saat-saat begini sudah tidak ada lagi pelajaran, hanya remidian, jadi mereka tidak semangat bersekolah. Alhasil Lucy melakukan semua hal yang bisa dilakukannya untuk membunuh kebosanan, entah itu menyapu kelas, membenarkan kursi-kursi, membaca novel yang dibawanya dari rumah, atau sekadar iseng menghitung lantai yang akan di kelas.
“Hei! Melamun saja!”
Lucy terlonjak kaget, ketika tiba-tiba saja ada yang menepuk punggungnya dengan keras hingga membuat oknum yang mengagetkannya tertawa terbahak-bahak. Puas sekali.
“Kenapa kau tiba-tiba di sini?” tanya Lucy heran, setahunya tidak ada siapa-siapa sejak tadi, kenapa anak itu bisa tiba-tiba muncul seperti setan.
“Aku berada di sini dua menit yang lalu, Lucy. Kau tidak tahu?” Violet menggelengkan kepala, selalu saja teman sebangkunya itu melamun dan tidak tahu kehadirannya.
Lucy mendengus, memungut kembali sapu yang tergeletak di lantai, menaruhnya di pojok kelas—tempat alat-alat kebersihan.
Violet duduk di kursinya, belum genap satu menit, dia sudah membuka bekalnya, mencomot roti yang dibawanya dari rumah.
“Kenapa?” tanya Violet dengan mulut penuh roti saat Lucy memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Kau ini belum makan atau memang lagi kerasukan?” Lucy bertanya balik dengan nada sarkasme.
“Dua-duanya,” jawabnya masih dengan mulut penuh roti.
Setelah membereskan beberapa kekacauan kecil yang ada di kelas, Lucy menghempaskan tubuhnya di kursi. Menghela napas berat laksana beban dunia bergantung di pundak kecilnya.
“Cepat sekali ya, sebentar lagi kita akan ada pentas seni, lalu kita naik kelas sebelas,” gumam Lucy, setengah melantur.
“Benar, aku merasa baru kemarin mengenalmu,” jawab Violet sembari memasukkan kotak makannya ke dalam tas.
Lucy mengangguk, semua terasa berjalan begitu cepat, dia merasa telah menyia-nyiakan banyak waktu selama kelas sepuluh.
“Kudengar masing-masing perwakilan dari ekstrakulikuler akan unjuk bakat di acara perpisahan dan pentas seni nanti, huh?” Violet mengangkat sebelah alisnya.
Lucy melipat tangannya di depan dada, menyandarkan punggungnya di kursi. “Benar.”
“Kata anak-anak, Zidan bakal menyanyi nanti, kata mereka suaranya itu suara emas, enak banget!” Violet mengacungkan jempolnya.
“Eh? Benarkah?” Lucy tampak tertarik.
“Iya, dia kan vokalis di band sekolah kita.”
Tanpa sadar Lucy mengangkat sudut bibirnya, hingga muncul rona merah di pipinya. Dia akan menantikan pentas seni itu.
***
Mentari terbenam, digantikan rembulan, hari merangkak menjadi minggu, hingga tiba saatnya pentas seni yang sangat ditunggu-tunggu para siswa—mungkin Lucy saja. Karena sudah jelas, anak kelas dua belas tidak menantikan hari ini, hari di mana perpisahan mereka.
Dekorasi panggung ditata serapi dan sekreatif mungkin sampai detailnya, meja-meja yang berisi piala tampak paling bersinar, kursi-kursi berjajar rapi seperti barisan di kemiliteran berdiri di depan panggung, juga tidak lupa para wisudawan yang sedikit demi sedikit mulai berdatangan, beberapa dari mereka tidak lupa mengabadikan momen itu dengan berfoto-foto. Anak-anak yang akan mengisi acara perpisahan dan pentas seni bersiap-siap dibelakang panggung.
Seperti Lucy sekarang, dia sedang mati-matian menghafal puisi buatannya untuk ditampilkan, dia harus bisa menghayati agar lebih mendalami puisinya. Dia tidak tahu bagaimana guru pempimping ekstra menulis—Bu Leni—memilihnya sebagai perwakilan untuk tampil, pasalnya dia masih terbilang baru di ekstra itu—masih kelas sepuluh—sedangkan masih banyak kakak-kakak kelas sebelas yang lebih bagus darinya.
Awalnya Bu Leni memerintahkan anak-anak kelas menulis untuk membuat puisi dengan tema perpisahan, Lucy menurut saja, dia pikir itu hanya tugas biasa—namun ternyata untuk pemilihan siapa yang paling pantas untuk jadi perwakilan, Bu Leni memberikan tema perpisahan untuk puisi itu. Semua menurut, kecuali Lucy, dia membuat puisi dengan tema yang melenceng dari jalan. Beberapa hari kemudian, saat ekstra menulis, Bu Leni memberitahukan tentang seseorang yang membuat puisi tidak sesuai dengan tema, Lucy langsung paham kalau dirinyalah yang Bu Leni maksud.
Lucy dipanggil ke depan setelah itu, dia sangat gugup, pikirannya berkecamuk, dia takut kalau dia akan dihukum. Namun, Dewi Fortuna memihaknya, dia tidak mendapat hukuman seperi yang dipikirkannya, malahan dia yang mendapat kehormatan—sekaligus beban—untuk menjadi perwakilan di pentas seni.
Dung! Dung!
Kertas yang dipegang Lucy jatuh karena dia terlalu larut dalam pemikirannya, juga dikejutkan dengan suara drum dari ekstra marching band sebagai pembuka acara. Kalau Violet melihat ini, dia pasti akan menertawakan Lucy, untung saja Violet sedang bertugas—sebagai mayoret—kalau tidak Lucy harus merelakan tangannya untuk menabok Violet yang tidak berhenti tertawa.
Lucy menunduk untuk memungut kertasnya, tetapi ada tangan yang lebih dulu mengambil kertas itu dan memberikannya ke Lucy.
Gadis itu mendongak.
“Ini, lain kali hati-hati, jangan melamun,” ujarnya yang diakhiri dengan senyuman.
Lucy mengangguk kikuk, menerima kertas itu dengan gemetar seperti tidak makan satu bulan. Jantungnya berdebar-debar, senyumnya tidak bisa dia sembunyikan. Pemuda itu hendak membuka mulutnya tapi dia urungkan karena sebuah suara menggelegar memanggil namanya.
“Zidan! Cepat ke sini! Kita harus berlatih sekali lagi!” Kalau tidak salah ingat, dia adalah kakak kelas sebelas yang biasanya memainkan gitar di band sekolah ini.
“Baik, Kak!” Zidan menyempatkan diri untuk membuat jantung Lucy berdetak tidak keruan dengan melemparkan senyum manis yang memperlihatkan lesung pipitnya.
Lucy menampar dirinya secara mental, dia harus fokus! Beberapa menit lagi waktunya tampil, dia tidak ingin mengecewakan Bu Leni.
Lucy meremas roknya, entah kenapa dia merasa deg-degan, gadis itu serasa seperti mengikuti sebuah audisi dengan ancaman kalau tidak lolos hidupnya akan hancur. Bertambah guguplah dia saat salah satu guru menggiring Lucy dan teman-teman dari ekstra lain untuk duduk di kursi yang disediakan.
“Baik, tarik napas ... hembuskan,” gumam Lucy, untuk menenangkan diri. “Anggap saja tempat ini kosong, mereka semua tidak ada, hanya aku sendiri. Aku bebas membaca puisiku.”
“Hai, Lucy.” Sapa seseorang yang duduk di samping Lucy.
Lucy menolehkan kepala, merasa namanya dipanggil. “Eh, Ila? Kau di sini? Jadi perwakilan ekstra qiro’ah?”
Ila mengangguk, teman sekelasnya itu membenarkan kacamata yang melorot ke hidungnya. “Kau kelihatan gugup.”
“Aku sangat gugup, aku takut membuat kesalahan di sana,” jawab Lucy sembari matanya fokus pada kepala sekolah yang pidato di panggung, berharap masih banyak hal yang disampaikan kepala sekolah—padahal, biasanya dia tidak menyukai pidato kepala sekolah yang terlalu lama—karena setelah ini gilirannya untuk tampil.