“Apa kau merindukanku, Lucy?”
Lucy terkesiap mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut pemuda yang selama ini mengisi kekosongan hatinya. Sejenak dia lupa caranya berbicara, dia tidak sadar telah menahan napas sedari tadi.
Zidan tersenyum seperti biasanya, menampakkan lesung pipit yang selalu dirindukan Lucy, mata yang sehitam malam itu menatap Lucy tanpa berkedip—menunggu gadis itu menjawab.
“K-kau ... masih mengingatku? Kau ... sudah kembali?” Lucy tidak menjawab pertanyaan Zidan, malah menanyakan pertanyaan yang selama beberapa bulan ini dipendamnya.
Mata Zidan yang tadi cerah, wajahnya yang bersemangat kini tampak menyurut, tetapi segera dia sembunyikan dengan melemparkan senyum mautnya—yang membuat jantung Lucy berolahraga ria.
“Kenapa aku melupakanmu—yah, meskipun aku pernah melupakanmu. Tapi sungguh! Itu bukan keinginanku.” Zidan menggelengkan kepalanya kencang, menegaskan perkataannya.
Hujan di luar masih deras, angin berembus kencang, sepertinya akan ada badai, Cafetaria semakin dipenuhi penggunjung—entah untuk membeli minum atau untuk berteduh. Teman-teman Zidan—gerombolan yang membahas bola tadi—kini terlarut dengan makanan yang telah dipesannya. Wanita-wanita karir yang berada di dekat pintu kini sibuk membahas sesuatu, kumpulan remaja yang tadi sibuk berfoto kini lebih memilih memainkan ponselnya, kadang-kadang cekikikan tidak jelas dengan ponselnya.
Lucy menoleh pada Zidan yang kini menundukkan kepala, memandang kosong lantai Cafetaria. Kenapa Zidan yang tadinya ceria kini tiba-tiba murung? Biasanya Zidan banyak bicara, apalagi saat Zidan sudah lama tidak bertemu Lucy.
Mendapati Zidan yang hanya diam, Lucy buru-buru menyerangnya dengan pertanyaan lain. “Kau tidak masuk sejak kita naik kelas dua belas, kau sakit apa? Kenapa Bundamu tidak memberitahukan kami dan pihak sekolah? Kenapa dia seperti menyembunyikan sesuatu?”
Zidan tampak terkejut, pupil matanya mengecil. “Aku ... tidak tahu. Bundaku ... aku ... tidak dekat. Kau tahu itu, ‘kan?”
“I-ya, aku tahu. Maafkan aku.” Lucy menunduk dalam, suaranya terdengar sendu.
***
“Sudah, selesai sedih-sedihnya.” Zidan memperbaiki posisi duduknya, dia tampak lebih ceria. “Bagaimana sekolahmu?”