“Pelajaran selanjutnya apa?” tanya Lucy pada Violet.
“Biologi,” jawab Violet sembari memasukkan buku kimia ke dalam tasnya.
Menyandang status sebagai kelas sebelas, ternyata sesusah yang dibayangkan Lucy. Katanya, di novel-novel remaja yang dibacanya, saat SMA—terlebih lagi kelas sebelas—adalah masa di mana senang-senangnya seorang pelajar, termasuk dalam hal kenakalan dan asmara. Namun saat ini Lucy belum menemukan kedua hal itu, yang ada malah pusing memikirkan tugas menumpuk yang setara dengan ketinggian gunung Himalaya.
“Hm, kuharap pelajarannya nanti menyenangkan. Aku hampir saja ketiduran tadi,” ujar Lucy, teringat kejadian saat pelajaran kimia akan berakhir.
Violet menyemburkan tawanya, teringat saat di jam-jam akhir pelajaran kimia, saat Lucy hampir tertidur, tapi untungnya Pak Lim tidak marah, dia hanya memfoto Lucy. Cara itu sukses membangunkan Lucy dan membuat Lucy jadi bahan tertawaan.
“Kau begadang lagi?” tanya Violet, mendapati kebiasaan Lucy jika gadis itu mengantuk di kelas dengan kantung mata yang kian menghitam.
Lucy mengangguk. “Tadi malam aku mendapat banyak ide untuk ceritaku, jadi aku mengetik sampai larut malam, daripada ide itu hilang. Untung saja mamaku tidak tahu kalau aku masih terjaga sampai larut malam, kalau tahu, bisa-bisa laptop berhargaku dijual.”
“Dijual?”
“Ya, dia selalu mengancamku kalau nilaiku turun, dan kalau aku bandel, dia akan menjual laptopku,” jawab Lucy.
“Ah, benarkah?” tanya Violet.
Lucy mengangguk yakin, dia memperagakan mamanya berbicara. “Mamaku bilang begini ‘Kalau nilaimu turun, Mama akan jual laptop itu, tidak ada jadi penulis, belajar yang rajin saja’. Begitulah.”
Violet mengangguk-angguk. “Orang tua memang sangat memperhatikan anaknya, tapi terkadang mereka tidak tahu apa keinginan anaknya. Aku jadi bingung, bagaimana pola pikir orang dewasa?”
Percakapan Lucy dan Violet terhenti karena tiba-tiba Bu Sarah—guru biologi mereka—sudah tiba di kelas dengan senyum ceria seperti biasanya.
Lucy buru-buru mengambil buku tulis dan kitab biologinya yang berada di tas. Matanya tidak sengaja melirik Zidan, pemuda itu terlihat menguap bosan. Baginya, biologi itu membosankan, tidak seru, tidak ada nilai seninya, jadi Zidan tidak bisa berkreasi. Dia lebih suka pelajaran seni dan musik, di mana dia bebas mengekspresikan perasaannya.
“Anak-anak, hari ini kita tidak akan melakukan pembelajaran di dalam kelas, karena kita akan melakukan uji golongan darah di Laboratorium Biologi,” ujar Bu Sarah.
“Yes!” Siyam mengepalkan tangannya di udara.
“Ayo Anak-anak bergegas, Ibu tidak mau menunggu lama.” Bu Sarah keluar dari kelas.
Murid-murid buru-buru menyusul, tidak mau kena marah karena lelet berjalan beberapa meter saja dari kelas, Bu Sarah selalu berkata, “Anak muda kok lelet, lambat, kalian tidak malu kalah sama Ibu yang sudah berumur ini.”
Lucy kagum pada fisik Bu Sarah yang kuat, walau umur sudah kepala empat—hampir lima puluh tahun, fisiknya kuat seperti anak muda berumur tujuh belas tahun. Dia tidak pernah melihat Bu Sarah mengeluh karena pegal bolak-balik menuruni anak tangga untuk mengajar kelas sebelas yang berada di lantai dua. Padahal teman-temannya selalu mengeluh, berkhayal kalau ada elevator untuk menuju lantai dua pasti menyenangkan.
“Yeah! Kita ke lab!” seru Ali girang.
Zidan meliriknya sekilas, balas tersenyum kecil. Mereka orang yang terakhir kali keluar dari kelas.
“Aku sangat suka jika melakukan percobaan seperti ini, sangat menyenangkan,” Ali berkata dengan semangat membara.
“Kau senang sekali ya. Coba kalau pelajaran sejarah kau juga sesemangat ini, kau akan jadi murid kesayangan,” ucap Zidan dengan nada datar.
Ali tertawa. “Kautahu sendirilah, aku tidak suka sejarah. Untuk apa mempelajari masa lalu, kita harus fokus pada masa depan. Lupakan masa lalu, pikirkan masa depan.”
***
Di Laboratorium Biologi, ada beberapa kerangka manusia lengkap yang berdiri di dekat kaca. Di dalam kaca sendiri ada replika mata, jantung, tubuh manusia bagian atas. Beberapa mikroskop yang terbungkus rapi dengan plastik agar tidak rusak.
Di tengah-tengah ruangan terdapat meja panjang dengan kursi-kursi plastik yang diletakkan melingkari meja. Di dinding laboratorium, tertempel pigura, mulai dari bentuk-bentuk tulang dan segala hal yang berhubungan dengan biologi.
Bu Sarah duduk di tempatnya—di depan meja-meja panjang tadi, seperti susunan meja di kelas, bedanya kursi di kelas tidak melingkar. Bu Sarah memakai kacamatanya, mengambil pena di tempat pensil berwarna hitam, lantas mengisi jurnal pelajaran.