“Cinta itu seperti jelangkung, datang tak diundang, pulang tak diantar.”
***
Gadis itu tidak bisa berhenti memandangi wajah Zidan yang sedang tertidur. Pemuda itu tampak polos dan lugu—tidak terlihat wajah usilnya. Wajah pemuda itu terlihat sedikit pucat, mungkin karena kejadian di laboratorium biologi tiga hari yang lalu.
Zidan sama sekali tidak terganggu dengan bisingnya kelas karena pergantian jam, kebetulan guru PKN belum datang.
Lucy baru menyadari, bulu mata Zidan begitu cantik. Rambut pemuda itu menutupi sebagian dahinya, keringat menetes dari pelipisnya. Andaikan waktu bisa berhenti, Lucy akan menghentikannya sekarang juga, agar ia bisa melihat Zidan yang tidur begitu tenang dari tempat duduknya.
Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan?
Lucy meletakkan kepalanya di bangku, pandangannya mengarah pada Zidan yang berjarak satu bangku dari tempat duduk Lucy.
Ali yang sedari tadi melihat Lucy senyum-senyum sendiri sembari memandang Zidan, terkadang juga merona malu memutuskan untuk menghampirinya.
“Ehem. Iya, aku tahu, dia tidak akan berubah menjadi jelek jika kau melepaskan pandanganmu darinya walau sedetik.”
Kesadaran Lucy kembali pada raganya. Dia segera mengangkat kepalanya yang menempel di meja. Mengalihkan pandangannya dengan cepat.
“Ti-tidak kok, aku tidak melihat Zidan, aku hanya melihat lukisan di belakangnya,” dusta Lucy.
Ali terkekeh, duduk di kursi depan Lucy yang kebetulan kosong. “Aku tidak berbica tentang Zidan.”
“Eh? Itu ....” Lucy menggaruk belakang kepalanya.
“Tidak apa-apa, aku tahu. Aku juga pernah merasakan hal yang sama. Kau pasti menaruh perasaan padanya.” Ali menunjuk Zidan yang kini mulai siuman dari hibernasinya.
Lucy melototkan matanya, serangan fakta dari Ali tepat sasaran. Dia sendiri juga tidak tahu dan tidak meminta, perasaan itu datang sendiri tanpa diundang seperti Jelangkung. Tiba-tiba saja dia merasa terbang di udara kalau melihat pemuda itu, dia khawatir, apakah perasaan seperti itu akan menjatuhkan hatinya dan merusaknya berkeping-keping di masa depan nanti.
“Bukan begitu.” Lucy menggeleng.
“Bukan begitu apanya? Kau jelas-jelas menyukainya, kalau kau berniat mencintainya diam-diam, kau tidak pandai menyembunyikannya.” Mulut Ali sama sekali tidak mempunyai rem, dia tetap melanjutkan perkataannya bahkan saat Zidan bergabung.
“Jadi, kau mulai menyukainya sejak kapan?”
“Kau tahu sendirilah jawabannya.” Lucy tersenyum.
“Ada apa ini? Siapa yang suka?” Zidan yang masih mengumpulkan nyawa bertanya sembari duduk di sebelah Lucy—Violet masih mempunyai urusan dengan toilet.
“Bukan apa-apa. Teman kita ini, dia menyukai seseorang,” jawab Ali terus terang.
Lucy refleks melotokan matanya dan memukul bahu Ali, yang dijawab pemuda itu dengan kekehan.
“Ha? Kau menyukai seseorang?” Zidan terlihat terkejut, air mukanya menampakkan kekecewaan yang entah kenapa membuat Lucy senang.
Apakah ... Zidan cemburu?
Lucy tersenyum, mengangguk. “Aku menyukai seseorang.”
“Siapa dia?” tanya Zidan, walau dia berusaha menyembunyikan ekspresi kecewanya, Lucy dan Ali dapat mengetahuinya dengan jelas.
“Kau mengenal dengan baik orang itu, Zidan,” jawab Lucy yang semakin membuat Zidan ingin menjotos tembok.
Zidan mengepalkan tangannya, keningnya berkerut. Lucy tidak tahu kenapa Zidan bersikap seperti itu.
Tiba-tiba pintu dibuka, di ambang pintu terlihat Pak Hari membawa laptop, buku jurnal, dan kitab PKN, lantas dia masuk ke kelas.
Zidan meninggalkan meja Lucy begitu saja. Dia kembali ke mejanya dengan perasaan campur aduk.
Ali berdehem. “Selamat, kau naik satu level, sepertinya dia juga memiliki perasaan yang sama sepertimu.”
“Ha?”
Lucy sekarang mengerti alasan Zidan bersikap seperti itu
***