Euforia

Varenyni
Chapter #11

10. Kau ... Euforiaku

Matahari masih malu-malu menampakkan dirinya walaupun kabut sudah menghilang. Daun melambai-lambai di depan jendela laksana mengajak seorang gadis yang menikmati hari Minggu-nya dengan tidur.

Terdengar ketukan di pintu kamar gadis itu, awalnya pelan dan teratur, lama kelamaan semakin keras dan terkesan tidak sabaran. Gadis yang menjadi sasaran—Lucy, tidak terganggu sama sekali, dia semakin merapatkan selimut dan memeluk gulingnya erat.

Orang yang mengetuk pintu, Tina—mamanya Lucy—menghela napas, membuka segera pintu kamar Lucy. Mama membuka tirai jendela, membuat sinar mentari berebut masuk, menyilaukan pandangan Lucy—walau tidak sampai membangunkannya.

“Lucy, ayo bangun, Sayang.” Mama mengoyang-goyangkan bahu Lucy, yang hanya dibalas dengan erangan kecil.

“Ayo bangun, sebelum Mama menjadi monster untuk membangunkanmu,” ancam mama Lucy.

“Ini kan hari libur, Ma,” balas Lucy.

“Bangun sekarang, Lucy!”

Kalau Lucy tidak juga bangun, mamanya akan menjadi monster, dan Lucy dalam bahaya.

“Iya, satu jam lagi ya.” Lucy masih belum bisa membuka matanya dengan lebar, jadi dia tidak bisa melihat wajah mamanya yang seperti mau meledak.

“Satu ... dua ...,” 

Lucy segera memaksakan matanya terbuka lebar, terburu-buru duduk sebelum mamanya selesai menghitung sampai tiga, kalau angka itu terucap di mulut mamanya, sudah dipastikan, mama Lucy akan menjadi monster sungguhan.

“Aku sudah bangun, Ma.” Lucy menunjuk matanya yang sudah terbuka lebar—walau kelihatan terpaksa sekali.

“Anak gadis jangan bangun siang-siang,” omelnya.

Apa hubungannya anak gadis dengan bangun siang? Lucy hendak bertanya demikian, tetapi dia urungkan dan menyimpannya di hati.

Mama membenarkan tirai jendela, masih mengomel. Lucy sepertinya sudah kebal dengan omelan mamanya, dia hanya menggaruk telinganya tak acuh.

Lucy mengedarkan pandanganya, melihat meja belajarnya yang berantakan. Laptop yang terbuka, stick note tertempel di dinding dekat meja belajar, buku-buku berserakan, pena jatuh di lantai, kertas-kertas yang diremas berceceran di dekat tempat sampah. Lucy melihat buku PKN di sana, yang entah bagaimana mengingatkannya pada Zidan.

Gadis itu belum memberi Zidan jawaban, pasti Zidan akan mengirimkan pesan beruntun untuk yang memaksa Lucy untuk segera memberi jawaban. Lucy inisiatif membuka ponselnya yang berada di dekat bantal, tidak ada pesan dari Zidan.

Sebenarnya, tanpa dipikirkan dua kali, hati kecil Lucy pasti akan menjawab pertanyaan Zidan dengan lantang; aku menerimamu. Namun, entah kenapa dua kata itu sepertinya enggan keluar begitu saja dari mulutnya, dia harus memikirkan dulu matang-matang, kalau setengah matang nanti perutnya sakit.

  “Cepat mandi, Lucy.” Mama memegang kenop pintu, hendak keluar, namun segera berbalik.

“Mama lupa, ada temanmu yang menunggumu di ruang tamu, segera turun dan temui dia.”

“Siapa pagi-pagi begini ke sini? Violet?” Lucy mengerutkan kening, mengaruk kepalanya.

Mama menggeleng. “Tidak. Dia laki-laki, Mama lupa tadi siapa namanya, katanya mau belajar bareng.”

“Ha?” Lucy melongo sekaligus terkejut.

Mama sudah di luar, katanya membuatkan minuman untuk teman Lucy dan menyuruh Lucy untuk segera turun, tidak enak kalau membuat tamu menunggu lama.

“Siapa? Aku tidak pernah merasa membuat janji akan belajar bersama, dengan laki-laki pula,” gumam Lucy sembari mengetuk-ngetuk jarinya di kepala. “Apa Ali? Dia minta belajar apa? Aku kan tidak bisa futsal?”

Muncul nama lain di kepala Lucy. “Siyam? Tidak mungkin, aku tidak pernah akur dengannya. Lalu siapa?”

Lucy membelalakkan matanya. “Apa dia ... Zidan?”

Tanpa banyak basa-basi, Lucy melompat dari ranjangnya, menyambar handuk.

“Kenapa juga dia ke sini, apalagi ini masih pagi,” gerutu Lucy.

***

“Selamat pagi, Lucy.” Sapanya ramah.

Lucy duduk di sofa. “Kenapa ke sini pagi-pagi? Jangan katakan maksudmu ke sini untuk mengetahui jawabanku.”

“Ah, kau bisa membaca pikiranku. Namun bukan hanya itu saja, aku juga ingin kau mengajariku membuat puisi,” ujar Zidan.

“Puisi? Untuk apa? Kita tidak ada tugas membuat puisi, lagi pula puisi bukan bab pelajaran kita sekarang.”

Lucy menepuk dahinya, Zidan tidak akan peduli tentang bab apa pelajaran Bahasa Indonesia, yang dia tahu hanya duduk di bangku, mendengarkan penjelasan guru—entah pura-pura mendengarkan atau tidak.

“Aku ingin membuatnya untukmu,” jawabnya, tersenyum manis.

Ayolah, Zidan. Ini masih pagi, kalau kau memberikan yang manis-manis pada Lucy nanti dia bisa didiagnosis diabetes melitus.

“Kenapa kau tiba-tiba tertarik dengan sastra? Apa kau pindah haluan dan meninggalkan aliran seni?” Lucy mengambil biskuit di meja, menawarkannya pada Zidan, pemuda itu menggeleng.

“Hei, aku tidak akan berpindah aliran, aku tetap suka seni daripada sastra,” jawabnya.

“Ya ya, aku percaya. Kau ingin puisi jenis apa?” tanya Lucy.

Lihat selengkapnya