Eugene Rewrite

Mizan Publishing
Chapter #1

REVERIE

Desember 2018 ....

Jantung Eugene berdegup dua kali lebih cepat, ekor matanya menangkap bayangan sosok yang begitu lekat diingat berkelebat.

ELENA!

Setengah berlari dia menyeruak kerumunan orang, memburu langkah seorang wanita yang berjarak sekitar sepuluh meter di depannya.

ELENA!

Panggilnya sekali lagi. Langkahnya mendadak terhenti, kedua matanya liar mencari-cari. Nihil, dalam sekejap wanita yang dikejarnya seolah lenyap ditelan bumi. Dengan sorot mata kebingungan, dia merasakan sekelilingnya tiba-tiba senyap tanpa suara, aktivitas di sekitarnya terlihat bergerak begitu cepat. Semua berputar hebat. Kemudian tanah yang dipijak rasanya melesak menelan keseluruhan dirinya.

1. Lamunan, angan-angan.

Eugene tersentak bangun dari tidur, kausnya basah oleh peluh padahal suhu udara tergolong dingin.

‘Hanya mimpi.’

Dengan wajah kusut, Eugene duduk di tepi tempat tidur, dipejamkan matanya kuat-kuat sehingga gurat-gurat di dahinya terlihat. Jari jemarinya meremas rambut cokelat pekatnya seolah berusaha mengumpulkan kembali kesadaran yang sempat terpecah sejenak dalam degup harap.

Diraihnya sebotol air mineral di atas nakas, diteguk habis tak berbekas. Lalu dia bangkit, berdiri menghadap jendela kaca setinggi setengah tubuhnya. Eugene bisa melihat hamparan salju yang mulai mencair membasahi halaman dan jalan depan rumah.

Eugene menyeret kursi kayu ke dekat jendela, dia memangku gitar dan memetiknya. Sebuah nada terdengar menyayat. Namun suaranya tercekat, tak sebait syair pun keluar dari mulutnya. Hanya embusan napasnya yang terlihat seperti asap. “Son, kamu tidak jadi belanja hari ini?” Ketukan pelan di pintu dan suara Catherine, ibunya, membuyarkan lamunan.

“Ya, aku akan turun sebentar lagi, Mom.”

Setelah melaksanakan dua rakaat salat Subuh dengan bacaan surah yang masih singkat-singkat, Eugene turun mengenakan setelan pakaian joging termal panjang ketat yang walaupun tipis mempunyai kemampuan mengisolasi panas tubuh sehingga tidak kedinginan. Dilapis kaus dan jaket penahan angin yang waterproof, serta celana pendek di bawah lutut. Lengkap dengan headband juga sarung tangan.

Eugene menyukai semua jenis olahraga, bahkan yang tergolong ekstrem sekalipun, seperti berlari saat musim dingin, panjat tebing, surfing, hingga bungee jumping. Dulu, Eugene pernah nekat mengajak Elena menempuh dua jam penerbangan pada suatu akhir pekan demi melakukan bungee jumping di Desa Blangsinga, Gianyar, Bali. Menikmati keseruan adrenalin yang terpacu, keindahan pemandangan Air Terjun Tegenungan saat melompat, dan teriakan lepas Elena tepat di telinganya. Tiga kejutan sekaligus dalam satu waktu bersamaan.

“Are you going to kill me?” Elena menyeringai. Entah dorongan apa yang membuatnya ikut naik ke atas sana, padahal bisa dibilang ia setengah mati ketakutan.

“No, My Dear. Sebaliknya, aku mengajakmu untuk mengawali mimpimimpimu.” Eugene merapikan anak rambut Elena yang tertiup angin dengan ujung telunjuknya. Dia paham betul di balik segala risikonya, bungee jumping mempunyai banyak manfaat. Salah satunya bisa menjadi terapi ampuh untuk mengatasi ketakutan Elena pada ketinggian, seperti naik pesawat dan sejenisnya. Dengan memberanikan diri, melompat dari ketinggian, secara tidak langsung melepaskan energi negatif dari dalam tubuh. Pada saat berteriak untuk mengalahkan rasa takut, adrenalin serasa pecah, membuat perasaan dan pikiran menjadi lebih ringan. Eugene tahu Elena ingin sekali bisa keliling dunia, maka Elena harus bisa menguasai ketakutannya terlebih dahulu. “Kau percaya padaku?”

Elena mengangguk, “You jump, I jump. Right?”

“Itu dialog di film Titanic!” Eugene terbahak.

“I know, aku kehilangan kata-kata,” Elena ikut tertawa, tapi tetap tak bisa menutupi kegugupannya, “I trust you.”

Eugene memeluk erat pinggang Elena, dan mereka melompat bersama pada hitungan ketiga.

Tidak, bahkan cuaca sedingin ini tak membuat Eugene berhenti berolahraga. Dia tidak pernah keberatan dengan suhu yang menusuk ke tulang. Dia tahu, kapan bisa berolahraga di luar, dan kapan harus tetap di dalam ruangan.

Eugene sudah keranjingan lari. Baginya, berlari memberikan sensasi tersendiri dibandingkan olahraga lainnya. Aktivitas yang seolah menekuri jalan seorang diri dalam sepi itu seperti mewakili peperangan dalam batinnya. Dia seperti sedang menguji seberapa batas kekuatan yang dimilikinya untuk move on dari Elena.

Berdasarkan pengalaman, Eugene mempertimbangkan semuanya dengan matang. Termasuk panas tubuh yang akan naik setelah berlari lebih dari tiga puluh menit, sehingga dia merasa tidak perlu mengenakan pakaian secara berlebihan.

Udara dingin memang bisa menyakiti saluran pernapasan, terlebih pada saat lari, napas cenderung ngos-ngosan, tetapi ternyata Eugene mempunyai trik sederhana untuk mengatasinya. Dia mengatupkan kedua telapak tangannya di depan hidung dan mulut sehingga udara yang akan diambil terasa hangat.

Eugene duduk di meja makan sendirian. Dia mengambil selembar roti tortila gandum, mengoles mayones tipis-tipis, dan meletakkan irisan stroberi di atasnya. Sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah lengkungan. Dia jarang tersenyum hari-hari belakangan. Namun, dia selalu tak bisa menahan diri untuk tersenyum setiap kali sesuatu mengingatkannya pada Elena. Lalu diteguk jus jeruk di hadapannya hingga tandas.

Eugene menghabiskan hampir tiga puluh menit untuk membolak-balik halaman sebuah surat kabar lokal dan membaca beberapa artikel yang menarik, kemudian bangkit untuk pamit.

Lihat selengkapnya