Eugene Rewrite

Mizan Publishing
Chapter #2

MESMERIZE

Januari 2010 ....

Eugene menatap seorang gadis yang berdiri canggung, sekitar tiga meter di depannya, berbicara dengan Arief, teman lama Eugene yang tampaknya juga bos si gadis. Ia terlihat sesekali mencuri pandang ke arah Eugene yang duduk di sofa besar. Entah apa yang mereka bicarakan, dia tidak terlalu jelas mendengar. Rasarasanya Eugene pernah melihat gadis itu, wajahnya tampak familier, tapi dia lupa di mana.

“Saya masih banyak pekerjaan, Pak.”

“Jam istirahat bukan untuk bekerja, Elena.”

Elena mendesah. Pak Arief ini bos barunya, seorang Managing Director sebuah perusahaan jasa konsultasi manajemen mutu di Jakarta Selatan. Elena belum genap sebulan mendapatkan promosi jabatan sebagai Sekretaris Direksi, setelah hampir tiga tahun sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Departemen.

1. Memesona.

Entah bagaimana ia harus menolaknya, Elena terbiasa melakukan pekerjaan sendirian. Sungguh Elena merasa risi, jika harus berdekatan dengan pria berkebangsaan asing. Di matanya, mereka terlalu banyak menebar pesona di hadapan perempuanperempuan lokal.

Pernah dengar pepatah, “American salary, Chinese cook, English house, Japanese wife?” Tipikal kebanyakan pria asing yang artinya kurang lebih, punya gaji standar Amerika yang tergolong besar, bisa menikmati masakan Tiongkok yang terkenal kelezatannya, memiliki rumah mewah dan indah khas Inggris, serta menikahi wanita Jepang yang setia dan penurut.

Sedangkan stereotip kebanyakan perempuan Indonesia tentang pria asing itu adalah ganteng, romantis, dan kaya. Ini ditambah harapan akan dibawa jalanjalan ke negaranya atau bahkan untuk perbaikan keturunan. Setali tiga uang, kan?

Tanpa sadar Elena menggeleng. Menurutnya, pemikiran itu tidak salah juga, tetapi jika hati bisa memilih kepada siapa ia jatuh cinta, Elena lebih condong kepada lakilaki biasa dari negaranya sendiri yang bisa mencintainya dengan sederhana. Ia tidak tahu, terkadang yang sederhana pun bisa menjadi rumit. Dan cinta yang luar biasa begitu penuh warna.

‘Tenang Elena, bersikaplah profesional’. Ia seperti berusaha meredam rasa gelisahnya sendiri.

“Elena, ini mungkin kelihatan sedikit personal, tapi dia teman baik saya selama kuliah di Kanada dulu. Saya berharap kau bersedia menemaninya makan siang dan membantu menyiapkan semua kebutuhannya selama kita memakai jasanya. Minimal sampai saya kembali dari luar negeri.”

Pak Arief menyorongkan tubuhnya sedikit, setengah berbisik. Mungkin dia tidak ingin terlihat seperti sedang memohon kepada bawahannya.

Rasanya ingin sekali Elena mengeyel, tapi hanya bisa bersungut dalam hati, ‘Kenapa bukan orang HRD saja yang menemani?’ karena ia tidak berani membantah lagi.

“Bahasa Inggris saya paspasan, Pak,” kilah Elena.

“Nah, justru untuk itulah perusahaan mengundang dia kemari, agar kalian bisa belajar berkomunikasi dengan bahasa internasional dengan lebih baik dan percaya diri. Oke?”

“Baiklah.” Elena mengangguk, menyerah.

Pak Arief tersenyum puas, dia mendekat ke arah Eugene sementara Elena mengekor di belakangnya. Pak Arief lalu memperkenalkan kedua orang tersebut.

“Eugene, ini Elena. Ia akan membantu menyiapkan semua keperluanmu selama mengajar di sini. Saya minta maaf tidak bisa menemani karena ada tugas ke luar negeri selama beberapa pekan ke depan.”

“It’s okay, Arief. Hai, Elena, senang berkenalan denganmu.”

Eugene bangkit dari duduk dan mengulurkan tangan, tersenyum ramah. Elena menyambutnya sambiltersenyum tipis dan menganggukangguk mencoba ramah. Netranya berserobok dengan sepasang mata biru. ‘Baiklah, dia sedikit gagah,’ Elena mengakui dalam hati.

“Saya pamit kembali ke meja dulu, Pak, Sir.”

“Panggil Eugene saja, please.”

Kembali Elena mengangguk, tanpa suara, tanpa senyum. ‘Ah, gadis itu … seperti salju, cantik dan beku.’ Eugene mengikuti langkah Elena dengan tatapan penasaran sampai keluar pintu.

Eugene adalah seorang native speaker yang sengaja didatangkan dari Kanada untuk memberikan pelajaran bahasa Inggris secara aktif maupun pasif kepada seluruh pegawai perusahaan. Dia sudah berpengalaman memberikan banyak pelatihan di berbagai negara. Pembagian kelas dilakukan secara bergantian setiap departemen selama tiga bulan. Hal tersebut memungkinkan Eugene menetap cukup lama di Jakarta.

Sebenarnya pengajar lokal pun banyak yang sudah menguasai tata bahasa Inggris, tetapi penutur asli memang memiliki kemampuan berbicara secara natural baik pengejaan maupun pengucapan.

Perusahaan tempat Elena bekerja memang sangat memperhatikan kualitas para pekerjanya. Bahkan, kebijakan perusahaan menetapkan bahwa setiap karyawan wajib mengikuti minimal tiga jenis pelatihan setiap tahunnya yang diajukan oleh masingmasing kepala departemen.

Elena sendiri sudah mengantongi banyak sertifikat pelatihan, dari pengembangan kepribadian, penulisan laporan, bahkan sampai bisnis transformasi, dan lainlain. Semua gratis, dibayari perusahaan. Elena merasa sangat beruntung bekerja di sana, berusaha keras dari level paling bawah hingga sampai di posisinya sekarang ini bukanlah hal yang mudah. Demi membuktikan kepada kedua orangtuanya bahwa keberhasilan bisa didapatkan dari titik mana pun memulainya selama ada kesungguhan.

Jam istirahat, kedua orang berbeda kebangsaan itu saling berdiam diri di depan pintu lift. Ekor mata Eugene menangkap gelisah di wajah Elena yang sedikit memucat. Dia melihat bagian atas bibir gadis itu berkeringat. ‘Hiperhidrosis fokal primer?’

Eugene pernah membaca bahwa adakalanya seseorang mempunyai kondisi aktivitas kelenjar keringat menjadi berlebihan di bagian tubuh tertentu, semisal telapak tangan, kaki, ketiak, dan wajah. Kondisi seperti ini biasanya diturunkan dalam keluarga. Salah satu pemicunya adalah ketakutan, kecemasan, dan rasa gugup yang tidak bisa dikelola dengan baik.

Pintu lift terbuka, Eugene mempersilakan Elena masuk duluan. Gadis itu langsung merapat ke dinding lift, tangannya terlihat mencengkeram kedua sisi roknya yang panjang sebetis berwarna khaki hingga meninggalkan bekas kusut sedikit.

Eugene menebaknebak, ada apakah gerangan? Apakah dirinya membuat gadis itu gugup? Mungkinkah dia memiliki claustrophobia, ketakutan yang tidak seharusnya ketika berada di ruangan sempit atau tertutup?

Ataukah acrophobia? Sebenarnya takut ketinggian adalah reaksi paling umum, yang memang dimiliki oleh setiap orang. Kadarnya saja yang berbedabeda. Sebab, tubuh manusia itu pada dasarnya secara alamiah mempunyai pertahanan terhadap bahaya, semisal ketika mengendarai mobil di atas jembatan layang yang tinggi atau melompat dari gedung.

Eugene merasakan debar aneh dalam dadanya. Ada dorongan kuat yang timbul tibatiba. Sebuah perasaan ingin melindungi.

Elena menarik napas lega ketika pintu lift kembali terbuka di lantai yang mereka tuju. Dia berjalan mendahului, Eugene berada satu langkah di belakangnya. Sepanjang koridor entah sudah berapa pasang mata mengarah kepada mereka. Elena jengah menjadi pusat perhatian.

See? Itulah kenapa Elena merasa risi. Kebanyakan perempuan lokal itu tidak bisa melihat pria asing tampan sedikit, langsung mencari perhatian. Mulai dari mengibaskan rambut, tersenyumsenyum sambil mencuri pandang, atau hanya sekadar lewat di hadapan. Dan Eugene? Tampaknya dia sudah terbiasa dengan hal itu, terbukti dia mengangguk ramah berkalikali. Barangkali itulah kenapa wanita pada umumnya lebih senang terlihat cantik daripada pintar. Karena rupa memang lebih menarik perhatian.

“Kau mau makan apa?” tanya Elena sambil menoleh ke belakang.

“Terserah kau saja,” jawab Eugene dengan sorot mata tajam yang mungkin dalam seketika mampu melelehkan hati perempuan, tapi tentu saja bukan hati Elena.

“Serius terserah padaku?” tanya Elena meyakinkan. Eugene mengangguk mantap.

Entah dari mana datangnya keinginan itu, tibatiba tebersit dalam benak Elena untuk mengisengi Eugene. Mereka seharusnya makan siang di Café O La La, sebuah restoran tempat biasa menjamu tamu perusahaan, yang berada di lantai basement. Menu yang ditawarkan tidak kalah beragam, dari western hingga tradisional. Cita rasanya pun menggugah selera. Suasananya nyaman dengan pendingin ruangan dan alunan musik yang terkadang membangkitkan kenangan bagi sebagian orang. Bahkan, khusus pada akhir pekan selalu ada live music hingga tengah malam.

Elena menghentikan langkah dan berbalik mendadak. Otomatis ia menabrak telak Eugene yang berjalan persis di belakangnya. Wajah Elena mendarat sukses di dada Eugene, meninggalkan bekas lipstik di kemejanya yang berwarna biru muda.

“I’m so sorry!”

Elena panik, refleks telapak tangannya mengusapusap noda di kemeja Eugene dengan maksud membersihkannya. Namun, gerakannya tersebut malah persis seperti sedang membelai dada bidang laki-laki itu. Sejurus kemudian Elena tersadar.

‘Ya Tuhan, apa yang aku lakukan?’ Gadis itu mengumpat dalam hati. Ia buru-buru menarik tangannya, serta merta merasakan panas di wajah karena kikuk dan malu. Seperti, menepuk air di dulang, terpecik muka sendiri.

“It’s okay, Elena. Kau mengagetkanku. Memangnya kita mau makan di mana?”

Eugene setengah tertawa, mengeluarkan secarik sapu tangan dari saku celana, lalu membersihkan bekas noda dari kemejanya.

Elena terpana, ia sudah jarang melihat sapu tangan. Mungkin bagi Eugene, tisu terlihat sangat perempuan dan menurunkan level kejantanan. Elena menutup mulut dengan tangan kanannya, menyembunyikan kegelian atas pemikiran konyolnya barusan.

“Aku selalu membawa sapu tangan ke mana-mana, Elena. Lebih ramah lingkungan.”

Eugene seperti menjawab keterpanaan Elena, bibir gadis itu membulat sambil mengangguk-angguk.

“Kita makan di kantin karyawan saja, ya.”

“Tentu saja, aku tidak keberatan.”

Elena berpikir mungkin jika ia membawa Eugene makan di kantin karyawan yang hiruk pikuk, tanpa pendingin ruangan, dan menu ala kadarnya, lelaki itu akan kapok untuk makan siang lagi dengannya. Lalu bagaimana, kalau dia mengadu kepada Pak Arief? ‘Ah, itu urusan belakangan’, Elena berbicara dengan dirinya sendiri dalam hati.

Mereka berbalik arah. Kantin karyawan berada di luar gedung di sekeliling parkiran.

“Wow!”

Eugene terlihat terperangah sesaat. Elena tersenyum dalam hati bersorak kegirangan. ‘Ha! Dia pasti syok’.

“It’s awesome!”

Lihat selengkapnya