Setelah insiden itu, sampai dua pekan kemudian, Elena dan Eugene menjadi lebih akrab. Hampir setiap hari pada jam makan siang dan pulang mereka selalu terlihat bersama-sama.
Bahkan terkadang Eugene menyambangi meja Elena sebelum jam kerja, sekadar menyapa dan meninggalkan sarapan.
“Apa ini?” Elena menyentuh sebuah kotak makan bening di hadapannya.
“Dimsum,” sahut Eugene singkat.
“Aku biasa sarapan mi ayam.” Elena tertawa melihat tiga buah bulatan yang terlihat seperti porsi kecil baginya.
“Cobalah, itu buatanku.” Eugene membelah salah satu dimsum, “Isinya daging ayam dan udang. Dengan sedikit karbo, tapi tinggi protein, lebih baik, dan mengenyangkan.”
1 Perasaan nyaman atau perasaan gembira yang berlebihan.
“Really?” Kedua bola mata Elena tampak membesar, tak percaya. “No way.”
“Yes, way.” Eugene tertawa, “Jauh sebelum menjadi pembicara, aku adalah seorang koki.”
Ternyata Elena orang yang sangat enak diajak diskusi, keduanya pun bicara tentang banyak hal; musik, film, buku, dan lain-lain. Terutama travelling, Elena begitu antusias mendengarkan pengalaman Eugene mengunjungi tempat-tempat istimewa dari satu negara ke negara lain.
“Kau tahu? Aku selalu ingin bepergian keliling dunia. Dan, mengakhirinya dengan hidup yang sederhana di sebuah rumah tepi pantai,” gumam Elena seolah sedang membocorkan sebuah obsesi rahasianya.
Eugene menangkap kesedihan dalam nada bicara Elena. Entah mengapa dia tidak menyukainya. Tidak suka jika sepasang mata indah gadis di hadapannya itu berselimut kabut. Eugene benci melihat Elena tidak bahagia.
“Aku yakin kau pasti bisa, Elena,” sahut Eugene menyemangati.
Lalu dengan segera Elena mengganti topik pembicaraan, dia menyesal dirinya begitu mudah terbawa perasaan.
Elena sering kali tersipu setiap Eugene memperbaiki pengucapannya yang salah. Tawanya terdengar begitu renyah. Sebelumnya, jangankan tertawa, tersenyum pun Elena hampir tidak pernah.
Dua bulan sudah. Kadang Elena berharap Pak Arief ke luar negeri lebih lama, agar ia bisa menemani Eugene makan siang. Kalau perlu selamanya, sekarang ia tak keberatan. Namun, hati kecilnya mengingatkan kembali untuk tidak larut dalam euforia bersama pria asing seperti gadis lokal kebanyakan. ‘Jaga sikap, Elena!’
Begitu pun Eugene, dia menyadari perasaannya semakin tak terkendali. Entah mengapa dia merasa harus mencari alasan agar bisa selalu bertemu Elena setiap hari. Ini tidak boleh terjadi, biasanya dia yang selalu diikuti para wanita. Bukan sebaliknya. Namun, keinginan itu semakin hebat, Eugene tak kuasa menahan perasaan. Terlebih sudah dua kali ini, Elena tidak masuk kelas dalam sepekan terakhir.
Sebuah pesan masuk di layar komputer Elena melalui Winpopup Messenger. Sebuah aplikasi yang sering dipakai di perkantoran, menggunakan jaringan lokal tanpa harus mengakses koneksi Internet hingga memungkinkan setiap pekerja saling berkomunikasi dan mengirimkan data tanpa harus meninggalkan meja.
Eugene dan Elena hampir setiap hari bertukar kabar melalui aplikasi ini. Sekadar meredam rindu yang sering hadir tiba-tiba di sela-sela pekerjaan yang seakan tak ada habisnya.
Aku tidak melihatmu di kelas sepekan ini. Kau baik-baik saja?
Pesan terkirim dari lantai sebelas, Eugene.
Elena tersenyum, lalu membalas.
Maaf aku tak masuk kelas, sibuk. Aku baik-baik saja, terima kasih.
Tak ada pesan masuk sampai beberapa saat kemudian. Elena mendesah, ia berharap lebih. Kemudian,
Kau harus menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut sebagai hukuman.
1. Nama depan pemeran utama film Man in Black?
2. Q, R, S, T, ...?
3. Lawan kata dari ‘stop’?
4. Lawan kata dari ‘in’?
5. I met a guy ...? Blue eyes.
6. Kata ganti orang pertama sebagai objek?
Elena mengerutkan dahi, lalu membalasnya.
Apa-apaan ini?
1. Will
2. U
3. Go
4. Out
5. With
6. Me
Eugene membalas dalam sepersekian detik.
YES!
Elena semakin keheranan, dia membaca ulang chatnya lalu terdiam. Wajahnya bersemu kemerahan, dia seperti baru saja dirayu habis-habisan.
Eugene mengirim pesan lagi.
Aku akan menjemputmu Sabtu pekan ini pukul delapan pagi.
Elena menjawab singkat. Hatinya bergemuruh riuh sekali.
OK.
***
“Elena, ada tamu!” seru salah seorang penghuni indekos.
Kamar Elena terletak di lantai dua. Selain penghuni dan orangtuanya, tamu hanya diperkenankan masuk sampai ruang tamu yang berada di lantai bawah.
Elena mengenakan blus katun putih dengan luaran overall dress berbahan jeans dan sepatu kets putih. Ia mematut diri di depan cermin sekali lagi, lalu menuruni anak tangga setengah berlari.
Dia terkejut setengah mati, melihat Eugene dikerumuni beberapa orang gadis teman indekosnya. Ia menggeleng, lalu berdeham sedikit keras, menyadarkan seisi ruangan tersebut akan kehadirannya.
“El, dia pacar kamu?”
“Bukan!”
“El, ajak kenalan, dong!”
“Kenalan saja sendiri!”
“El, nanti minta nomor ponsel dia, ya.”
“Dia tak punya!”
Dan entah apa lagi yang mereka tanyakan, Elena sudah tak menggubris. Ia memberi kode lewat lirikan mata agar Eugene segera menyusulnya keluar.
Jantungnya kembali berdebar, dengan kaus putih dan celana jeans yang dikenakannya, lelaki itu tampak semakin terlihat sempurna di mata Elena. Tidakkah mereka kelihatan serasi?
“Senang, ya, dikelilingi perempuan?” Elena menggoda.
“Haha, cemburu?” Eugene balik menggoda. Elena melengos. Eugene tertawa kecil. Mereka beriringan ke arah jalan raya, lalu menyetop taksi yang lewat.
“Tolong ke Ancol, Pak,” kata Eugene sopan pada sopir taksi.
“Ancol?” tanya Elena.
“Iya, atau kau punya tujuan yang lebih baik?” Eugene balik bertanya.
Hampir semalaman dia googling, ini tempat terbaik yang paling dekat.
Dia tak mungkin membawa Elena menginap pada kencan pertama, kan? Elena menggeleng cepat, ia sangat menyukai pantai. Tidak ada tempat yang lebih baik daripada melihat kesetiaan ombak pada pasir yang menunggunya. Sejauh apa pun ombak pergi, ia selalu kembali.
“Kau sudah sarapan?” tanya Eugene lagi.
Elena mengangguk, tentu saja. Ia tak rela jika harus gagal pergi karena asam lambungnya naik lagi.
“Bagus, jangan sampai pingsan. Kita akan bersenang- senang hari ini.”